Pengendalian
Berbasis Ekologi Dengan Metode Penanaman Refugia Untuk Mendukung Program
Penerapan Pengendalian Hayati
Heri Kurniawan
Pendahuluan
Sayuran
menjadi komoditas yang tidak terpisahkan bagi masyarakat Indonesia yang
mengkonsumsinya sebagai bahan makanan. Tingginya jumlah penduduk Indonesia yang
terus berkembang menjadi salah satu kendala terhadap pemenuhan kebutuhan pangan
di Indonesia. Selain itu adanya serangan hama juga merupakan suatu kendala
karena dapat menurunkan produksi pertanian di Indonesia. Menurunnya hasil
pertanian yang disebabkan oleh serangan hama terjadi setiap musim tanam dengan
kerusakan mencapai 15-20% tiap tahunnya, hampir di setiap musim terjadi ledakan
hama pada pertanaman Sayuran khususnya sayuran yang umum dijumpai dan
persebarannya luas misalnya bayam, kacang panjang, sawi, kol, bawang, cabai,
dan lain sebagainya. Hama utama tanaman Sayuran seperti ulat grayak, Plutella xylostella, hama Thrips, dan
lain-lain. Penggerek batang merupakan serangga hama yang terdapat pada semua
ekosistem Sayuran dan menyerang tanaman sejak di persemaian, pertanaman, hingga
masa panen (Biro Pusat Statistik 1991).
Dari
berbagai jenis hama yang menyerang tanaman Sayuran pengendalian dengan cara
kimiawi masih dianggap cara yang instant dan efisen namun apabila ditinjau dari
model pertanian berbasis masukan bahan kimia-sintetik, cara tersebut seringkali
menimbulkan kerugian terhadap lingkungan berupa pencemaran dan kematian
beberapa jenis serangga berguna seperti musuh alami (predator dan parasitoid)
dan serangga penyerbuk. Apalagi umumnya model pertanaman Sayuran adalah sistem
monokultur sehingga berpotensi menimbulkan ketidakstabilan ekosistem akibat
rendahnya keragaman hayati yang menopang ekosistem tersebut (Cassman &
Pingali, 1995), yang dapat menyebabkan peledakan hama. Oleh karena itu,
alternatif strategi budidaya yang berbasis keragaman hayati diusahakan melalui
penyediaan ekosistem yang ramah pada musuh alami hama (Landis et al.,
2005).
Salah
satu upaya tersebut adalah melalui penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT)
dengan memanfaatkan agen hayati yakni dengan penanaman tanaman refugia, metode tersebut dilakukan dengan penanaman
berbagai jenis tumbuhan sebagai mikrohabitat yang dapat menyediakan tempat
perlindungan, sumber pakan atau sumberdaya yang lain bagi musuh alami seperti
predator dan parasitoid.
Metode
Penanaman tanaman refugia banyak diterapkan diberbagai negara seperti Thailand,
Vietnam, dan Filipina sementara di Indonesia metode penanaman refugia umumnya
baru diterapkan di Pulau Jawa seperti di Jawa Tengah, Jogjakarta, dan Jawa
timur. Untuk wilayah yang lain rata-rata petani masih sangat awam dengan metode
tersebut, sehingga perlu adanya penjelasan, pengkajian, dan penelitian agar manfaat dari refugia dapat dirasakan oleh
seluruh petani agar tercapai keuntungan ekonomi maupun terjaganya lingkungan
ekologi.
Tujuan dari penulisan essay adalah
untuk memberi solusi alternatif upaya konservasi dan pengendalian yang berbasis
ekologi pada ekosistem pertanian khususnya pada tanaman Sayuran, dan memberi
masukan terkait upaya yang harus dilakukan agar petani di seluruh Indonesia
dapat merasakan manfaat dari metode penanaman refugia.
Manfaat yang dapat diperoleh yakni
pengarahan terkait metode penanaman jenis tanaman refugia sebagai usaha
pengendaian organisme pengganggu tanaman dengan rekayasa ekologi untuk
meningkatkan produktivitas dengan menggunakan prinsip pengelolaan hama terpadu sehingga
menekan biaya input khususnya bahan kimia untuk pengendalian hama dan penyakit
tanaman bagi petani Sayuran.
Refugia Sebahgai Sistem Konservasi
Musuh Alami
Salah
satu upaya untuk menciptakan ekosistem pertanian yang lestari adalah dengan
memanfaatkan musuh alami sebagai pengendali populasi organisme pengganggu
tanaman, atau umum disebut dengan pengendalian hayati. Pengendalian hayati
sebenarnya merupakan suatu fenomena alamiah, sehingga dapat dianggap aman bagi
lingkungan. Meskipun demikian, pengendalian hayati tidak mudah diterapkan dan
dikelola, karena musuh alami membutuhkan lingkungan biotik maupun abiotik yang
optimal. Oleh karena itu, pemahaman tentang hubungan antara musuh alami, mangsa
(inang), dan lingkungan menjadi sangat penting (Kurniawati dan Martono, 2015).
Gambar
1. petani hortikultura yang memanfaatkan tanaman bunga sebagai refugia
Salah
satu strategi untuk mengoptimalkan fungsi dan peran musuh alami yang paling
rasional adalah konservasi lingkungan dalam rangka menyediakan pakan yang cukup
dan lingkungan pertumbuhan dan perkembangan yang nyaman bagi organisme musuh
alami (Andow, 1991). Landis et al. (2005) menyebutkan bahwa banyak
tanaman dan tumbuhan merupakan sumber pakan langsung bagi organisme musuh
alami, misalnya dengan menyediakan nektar dan polen, dan secara tidak langsung
menyediakan mangsa dan inang, di samping mengelola iklim mikro yang sesuai
dengan kebutuhan hidup musuh alami.
Refugia
merupakan suatu area yang ditumbuhi beberapa jenis tumbuhan yang dapat
menyediakan tempat perlindungan, sumber pakan atau sumberdaya yang lain bagi
musuh alami seperti predator dan parasitoid. Finbarr G. Horgan et al. / Procedia
Food Science 6 (2016) dalam journalnya yang berjudul “Applying
ecological engineering for sustainable and resilient rice production systems”
telah menguji coba potensi untuk 13 tanaman untuk digunakan dalam rekayasa
ekolologi yaitu labu pahit, kacang hijau, ladyfinger (okra), kacang panjang,
Cabai (Capsicum sp.), Kosmos (kenikir sayur) (Cosmos bipinnatus),
kacang buncis (Vigna unguiculata L.), mentimun (Cucumis sativus
L.), gambas ( Luffa sp.), labu (Cucurbita sp.), bunga
matahari (Helianthus annuus L.), botol labu (Lagenaria siceraria
Standl.) dan kecipir (Psophocarpus tetragonolobus [L.] de Candolle).
Tanaman
ini ditanam di enam lokasi di
direplikasi dan dipantau selama pengembangan tanaman Sayuran. Setelah
diamati ternyata tanaman refugia memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
keanekaragaman dan kelimpahan musuh alami dan penyerbuk dengan mentimun, labu,
gambas, dan labu pahit menarik sejumlah besar baik penyerbuk dan menguntungkan
tawon parasitoid. Sistem ini juga memiliki kelimpahan yang lebih tinggi dan
peningkatan aktivitas burung pemakan serangga. Selain itu, banyak dari tanaman,
termasuk mentimun, kacang hijau, botol labu, kacang panjang, gambas, Cabai, dan
ladyfinger memproduksi sejumlah besar buah-buahan yang memiliki nilai ekonomis
cukup tinggi. Insektisida yang digunakan di lahan rekayasa ekologis
mengindikasikan jumlah aplikasi insektisida berkurang 75% dibandingkan dengan
perlakuan kontrol petani.
Sumber.
Addina., et al., 2013
Dari
diagram tersebut jelas bahwa dengan adanya vegetasi refugia akan meningatkan
populasi serangga yang bertindak sebagai musuh alami pada hama. Kemudian,
Norris dan Kogan (2000) menganalisis peran gulma atau tumbuhan liar lain
sebagai penghubung antar trofi organisme baik langsung maupun tak langsung yang
hidup dalam sebuah ekosistem pertanian. Gulma atau tumbuhan nontanaman (utama)
dapat berperan sebagai sumber pakan alternatif organisme pengganggu selain
tanaman utama, dan juga sebagai tempat musuh alami mendapatkan pakan atau
inang. Dalam hal ini, gulma atau tumbuhan liar berperan sebagai jangkar atau penghubung
antara bermacam organisme yang terkait dalam ekosistem tersebut.
Manipulasi
habitat dilakukan dengan menanam tumbuhan berbunga (insectary plant)
yang berfungsi sebagai sumber pakan, inang/mangsa alternatif, dan refuji bagi
musuh alami. Tumbuhan berbunga menarik kedatangan serangga menggunakan karakter
morfologi dan fisiologi dari bunga, yaitu ukuran, bentuk, warna, keharuman,
periode berbunga, serta kandungan nektar dan polen. Kebanyakan dari serangga
lebih menyukai bunga yang berukuran kecil, cenderung terbuka, dengan waktu berbunga
yang cukup lama yang biasanya terdapat pada bunga dari famili Compositae atau
Asteraceae
(Altieri
et al., 2007).
Warna
bunga bahan dasarnya dihasilkan oleh pigmen yang terdapat di dalam kromoplas
atau vakuola sel pada jaringan floral. Warna ini dihasilkan melalui proses
refleksi dan refraksi cahaya pada permukaan sel (Harborne, 1997). Selain warna,
kandungan nektar dan polen pada bunga juga menjadi daya tarik bagi serangga
yang uumnya mengandung gula sederhana (monosakarida), asam amino, protein,
lemak, antioksidan, alkaloid, vitamin, asam organik, allantoin & asam
allantoat, dekstrin, dan bahan inorganik lainnya seperti mineral dan airasam
amino, protein, lemak, antioksidan, alkaloid, vitamin, asam organik, allantoin
& asam allantoat, dekstrin, dan bahan inorganik lainnya seperti mineral dan
air. Polen berfungsi sebagai makanan yang penting bagi serangga terutama larva
lebah (Apidae), kumbang, lalat (Syrphidae dan Anthomyiidae), Colembolla,
beberapa Orthopteroids dan kupu-kupu.
Selain
karakter morfologi dan fisiologi dari bunga, faktor lain yang mempengaruhi
kedatangan serangga pada suatu bunga adalah faktor lingkungan fisik yaitu
cahaya, suhu, kelembapan, serta kecepatan dan arah angin. Respons serangga
terhadap lingkungan fisik ini berbeda sehingga waktu aktifnya pun berbeda,
yaitu pagi, siang, sore atau malam hari.
Pengelolaan Sistem Bertanam untuk
Upaya Konservasi
Sayuran
sebagai komoditas pangan sangat dibutuhkan dalam jumlah besar sehingga dalam
proses budidaya akan senantiasa diusahakan optimal, begitupula pada metode
refugia. Manajemen habitat diartikan sebagai upaya memanipulasi habitat lokal
agar sesuai bagi musuh alami sehingga daya tekan terhadap populasi hama
meningkat, dan salah satu di antaranya adalah dengan sistem tanam beragam (polyculture).
Sistem tanam ini relatif mudah dan murah untuk dilakukan, secara ekonomi lebih
menguntungkan, dan tidak mencemari lingkungan karena menggunakan masukan
rendah, misalnya bahan organik sebagai pupuk, serta musuh alami, dan tanaman
pemerangkap hama sebagai pengendali hama (Altieri & Nichols, 2004).
Adanya tanaman lain dalam areal akan menyebabkan terjadi
proses alami dan interaksi-interaksi biologi yang dapat mengoptimalkan sinergi
fungsi dari komponen-komponennya, yaitu dengan terjaganya perkembangan populasi
herbivora melalui peningkatan peran serangga predator dan antagonis (Nurindah,
2015).
Keragaman
vegetasi melalui sistem tanam refugia merupakan praktek budidaya yang mudah diterapkan.
Walaupun demikian, pemilihan jenis tanaman yang akan ditumpangsarikan dan
sistem tanam yang tepat perlu dipertimbangkan untuk mendapatkan produktivitas
lahan yang optimal dan mempunyai keuntungan sosial dan ekonomi yang sesuai
dengan lokasi setempat (spesifik lokasi). Penerapan sistem tumpangsari
hendaknya tidak menurunkan produksi secara nyata dari tanaman-tanaman yang
dipadukan. Oleh karena itu diperlukan pengetahuan tentang pengaturan jarak
tanam, populasi tanaman, serta umur panen untuk diterapkan dengan
mempertimbangkan aspek pengendalian hama dan produktivitas lahan yang optimal.
Penanaman
tanaman refugia pada tanaman Sayuran diusahakan sesaat pembuatan lahan selesai
sehingga pada saat tanaman refugia berbunga Sayuran sudah mulai tumbuh sehingga
dapat terhindar dari hama tanaman. Untuk tanaman sayuran sebelum pengolahan
lahan selesai dapat dilakukan penanaman refugia sehinggga pada saat tanaman
sayuran sudah besar tanaman refugia sudah mulai berbunga.
Konsep dan Program
Refugia untuk Petani
Metode
penanaman refugia yang berbasis pada usaha menjaga ekosistem pertanaman sangat
sesuai dengan konsep usaha pertanian ramah lingkungan, Pendekatan ini mendorong
penggantian pestisida kimia dengan teknologi pengendalian alternatif, yang
lebih memanfaatkan bahan dan metode hayati yakni musuh alami. Dengan cara ini, dampak negatif
penggunaan pestisida terhadap kesehatan dan lingkungan dapat dikurangi (Untung
2000).
Dalam
program pengendalian hama, penambahan keragaman vegetasi bukan merupakan suatu
strategi pengendalian yang dapat berdiri sendiri (standalone tactic)
dalam menyelesaikan masalah hama yang ada. Teknik-teknik pengendalian hama yang
penekanannya adalah pengendalian ramah lingkungan dengan pemanfaatan sumberdaya
alam yang telah ada untuk menuju sistem pertanian yang berkelanjutan, perlu
dikembangkan. Teknik-teknik tersebut difokuskan pada optimalisasi peran musuh
alami sebagai faktor mortalitas biotik bagi serangga hama atau sebagai penghambat
perkembangan patogen penyakit.
Faktor-faktor
penyebab rentannya suatu agroekosistem terhadap eksplosi hama dapat diatasi
dengan melakukan pengelolaan agroekosistem supaya menjadi lebih tahan terhadap
eksplosi hama. Tujuan dari pengelolaan agroekosistem adalah menciptakan keseimbangan
dalam lingkungan, hasil yang berkelanjutan, kesuburan tanah yang dikelola secara
biologis dan pengaturan populasi hama melalui keragaman hayati serta penggunaan
input yang rendah (Altieri, 2007).
Tujuan
akhir dari pengelolaan agroekosistem adalah memadukan komponen-komponen yang
ada sehingga efisiensi biologis dapat diperbaiki, keragaman hayati dapat
dilestarikan dan dihasilkan produksi yang berkelanjutan. Pengendalian hama
dengan pengelolaan agroekosistem pada dasarnya adalah teknik pengendalian hayati
dengan mengoptimalkan peran musuh alami sebagai faktor pembatas perkembangan
populasi herbivora dalam suatu ekosistem. Optimalisasi peran musuh alami tersebut
dilakukan melalui peningkatan keragaman hayati dengan meningkatkan keragaman vegetasi.
Peningkatan keragaman vegetasi dilakukan melalui penerapan pola tanam polikultur
dengan pengaturan agronomis yang optimal, sehingga didapatkan produktivitas lahan
yang optimal dan berkelanjutan.
Kendala
umum dalam pengendalian secara hayati adalah masih banyak petani belum
menyadari manfaat sistem refugia. Oleh karena itu, perlu adanya dorongan pada
petani untuk mengetahui pemanfaatan lahan pertanian sesuai dengan konsep ramah
lingkungan sehingga harapan pencapaian produksi maupun produktivitas tanaman dapat
tercapai tanpa mengesampingkan tetap terjaganya lingkungan pertanian.
PENUTUP
Kesimpulan
Penanaman
tanaman refugia merupakan upaya untuk mengoptimalisasi peran musuh alami dari
berbagai jenis hama yang menyerang tanaman yang dlakukan dilakukan melalui
peningkatan keragaman hayati dengan meningkatkan keragaman vegetasi. Langkah
tersebut ditujukan sebagai alternatif untuk menekan penggunaan pestisida pada
perlindungan tanaman serta sebagai upaya terwujudnya pertanian yang ramah
lingkungan untuk mencapai produktivitas Sayuran nasional..
Saran
Dalam
pembangunan pertanian yang berbasis agroekologi diperlukannya suatu kebijakan
ekonomi yang dibuat oleh pemerintah, agar dalam skala nasional sektor pertanian
mampu memberikan konstribusi dalam pertumbuhan Negara Indonesia itu sendiri,
sehingga sector pertanian dapat maju. Perlu penelitian lebih lanjut terkait
manfaaat jenis-jenis tanaman terhadap pengaruh kehadiran predator alami untuk
mengendalikan hama tertentu, sehingga suatu jenis tanaman dapat digunakan
secara pasti oleh petani untuk mengendalikan hama yang mengancam tanaman.
DAFTAR
PUSTAKA
Addina.,
Lu’aili., et al., 2013. Efek Perpaduan Beberapa Tumbuhan Liar di Sekitar Area
Pertanaman Sayuran dalam Menarik Arthropoda Musuh Alami dan Hama. Program
Studi Biologi Fakultas MIPA Universitas Brawijaya Malang. Efek Perpaduan
Beberapa Tumbuhan Liar (71-81). Vol. 3, No.2 Maret 2013
Altieri, M. A. & C.I. Nichols.
2004. Biodiversity and Pest Management in Agroecosystem. 2nd Edition.
Haworth Press Inc., New York. 236 p.
Altieri, M.A., L. Ponti, & C.I.
Nichols. 2007. MengendalikanHama dengan Diversifikasi Tanaman. hlm.
10−13. http://www.salamleisa info, diakses 4 /2/14.
Andow, D.A. 1991. Vegetation
Diversity and Arthropod Population Response. Annual Review of Entomology
36: 561−586.
Biro Pusat Statistik.
1991. Luas dan intensitas serangan jasad pengganggu Sayuran dan palawija di
pulau Jawa tahun 1991. Biro Pusat Statistik, Jakarta.
Cassman, K.G. & P.L. Pingali.
1995. Intensification of Irrigated Rice Systems: Learning from the Past to Meet
Future Challenges. GeoJournal 35: 299−305
Horgan, F.
G., Ramal, A. F., Bernal, C. C., Villegas, J. M., Stuart, A. M., & Almazan,
M. L. (2016). Applying ecological engineering for sustainable and resilient
rice production systems. Procedia Food Science, 6, 7-15.
Harborne, J.B. 1997. Introduction
to Ecological Biochemistry. 4th ed. Academic Press, London, UK.
Kurniawati, N., & Martono, E.
2015. Peran Tumbuhan Berbunga Sebagai Media Konservasi Artropoda Musuh Alami
The Role Of Flowering Plants In Conserving Arthropod Natural Enemies. Jurnal
Perlindungan Tanaman Indonesia, 19(2), 53-59.
Landis, D.A., F.D. Menalled, &
A.C. Costamagna. 2005. Manipulating Plant Resources to Enhance Beneficial
Arthropods in Agricultural Landscapes. Weed Sciences 53: 902−908.
Norris, R.F. & M. Kogan. 2000.
Interactions between Weeds, Arthropod Pests, and their Natural Enemies in
Managed Ecosystems. Weed Science 48: 94−158.
Nurindah, N. 2015. Pengelolaan
Agroekosistem dalam Pengendalian Hama. Perspektif, 5(2), 78-85.
Untung, K. 2000.
Pelembagaan konsep pengendalian hama terpadu Indonesia. Jurnal Perlindungan
Tanaman Indonesia 6(1): 1-8.