Sabtu, 11 Desember 2021

Pengendalian Berbasis Ekologi Dengan Metode Penanaman Refugia Untuk Mendukung Program Penerapan Pengendalian Hayati

 

Pengendalian Berbasis Ekologi Dengan Metode Penanaman Refugia Untuk Mendukung Program Penerapan Pengendalian Hayati

Heri Kurniawan

Pendahuluan

Sayuran menjadi komoditas yang tidak terpisahkan bagi masyarakat Indonesia yang mengkonsumsinya sebagai bahan makanan. Tingginya jumlah penduduk Indonesia yang terus berkembang menjadi salah satu kendala terhadap pemenuhan kebutuhan pangan di Indonesia. Selain itu adanya serangan hama juga merupakan suatu kendala karena dapat menurunkan produksi pertanian di Indonesia. Menurunnya hasil pertanian yang disebabkan oleh serangan hama terjadi setiap musim tanam dengan kerusakan mencapai 15-20% tiap tahunnya, hampir di setiap musim terjadi ledakan hama pada pertanaman Sayuran khususnya sayuran yang umum dijumpai dan persebarannya luas misalnya bayam, kacang panjang, sawi, kol, bawang, cabai, dan lain sebagainya. Hama utama tanaman Sayuran seperti ulat grayak, Plutella xylostella, hama Thrips, dan lain-lain. Penggerek batang merupakan serangga hama yang terdapat pada semua ekosistem Sayuran dan menyerang tanaman sejak di persemaian, pertanaman, hingga masa panen (Biro Pusat Statistik 1991).

Dari berbagai jenis hama yang menyerang tanaman Sayuran pengendalian dengan cara kimiawi masih dianggap cara yang instant dan efisen namun apabila ditinjau dari model pertanian berbasis masukan bahan kimia-sintetik, cara tersebut seringkali menimbulkan kerugian terhadap lingkungan berupa pencemaran dan kematian beberapa jenis serangga berguna seperti musuh alami (predator dan parasitoid) dan serangga penyerbuk. Apalagi umumnya model pertanaman Sayuran adalah sistem monokultur sehingga berpotensi menimbulkan ketidakstabilan ekosistem akibat rendahnya keragaman hayati yang menopang ekosistem tersebut (Cassman & Pingali, 1995), yang dapat menyebabkan peledakan hama. Oleh karena itu, alternatif strategi budidaya yang berbasis keragaman hayati diusahakan melalui penyediaan ekosistem yang ramah pada musuh alami hama (Landis et al., 2005).

Salah satu upaya tersebut adalah melalui penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dengan memanfaatkan agen hayati yakni dengan penanaman tanaman refugia,  metode tersebut dilakukan dengan penanaman berbagai jenis tumbuhan sebagai mikrohabitat yang dapat menyediakan tempat perlindungan, sumber pakan atau sumberdaya yang lain bagi musuh alami seperti predator dan parasitoid.

Metode Penanaman tanaman refugia banyak diterapkan diberbagai negara seperti Thailand, Vietnam, dan Filipina sementara di Indonesia metode penanaman refugia umumnya baru diterapkan di Pulau Jawa seperti di Jawa Tengah, Jogjakarta, dan Jawa timur. Untuk wilayah yang lain rata-rata petani masih sangat awam dengan metode tersebut, sehingga perlu adanya penjelasan, pengkajian, dan penelitian  agar manfaat dari refugia dapat dirasakan oleh seluruh petani agar tercapai keuntungan ekonomi maupun terjaganya lingkungan ekologi.

            Tujuan dari penulisan essay adalah untuk memberi solusi alternatif upaya konservasi dan pengendalian yang berbasis ekologi pada ekosistem pertanian khususnya pada tanaman Sayuran, dan memberi masukan terkait upaya yang harus dilakukan agar petani di seluruh Indonesia dapat merasakan manfaat dari metode penanaman refugia.

            Manfaat yang dapat diperoleh yakni pengarahan terkait metode penanaman jenis tanaman refugia sebagai usaha pengendaian organisme pengganggu tanaman dengan rekayasa ekologi untuk meningkatkan produktivitas dengan menggunakan prinsip pengelolaan hama terpadu sehingga menekan biaya input khususnya bahan kimia untuk pengendalian hama dan penyakit tanaman bagi petani Sayuran.

Refugia Sebahgai Sistem Konservasi Musuh Alami

Salah satu upaya untuk menciptakan ekosistem pertanian yang lestari adalah dengan memanfaatkan musuh alami sebagai pengendali populasi organisme pengganggu tanaman, atau umum disebut dengan pengendalian hayati. Pengendalian hayati sebenarnya merupakan suatu fenomena alamiah, sehingga dapat dianggap aman bagi lingkungan. Meskipun demikian, pengendalian hayati tidak mudah diterapkan dan dikelola, karena musuh alami membutuhkan lingkungan biotik maupun abiotik yang optimal. Oleh karena itu, pemahaman tentang hubungan antara musuh alami, mangsa (inang), dan lingkungan menjadi sangat penting (Kurniawati dan Martono, 2015).


Gambar 1. petani hortikultura yang memanfaatkan tanaman bunga sebagai refugia

Salah satu strategi untuk mengoptimalkan fungsi dan peran musuh alami yang paling rasional adalah konservasi lingkungan dalam rangka menyediakan pakan yang cukup dan lingkungan pertumbuhan dan perkembangan yang nyaman bagi organisme musuh alami (Andow, 1991). Landis et al. (2005) menyebutkan bahwa banyak tanaman dan tumbuhan merupakan sumber pakan langsung bagi organisme musuh alami, misalnya dengan menyediakan nektar dan polen, dan secara tidak langsung menyediakan mangsa dan inang, di samping mengelola iklim mikro yang sesuai dengan kebutuhan hidup musuh alami.

Refugia merupakan suatu area yang ditumbuhi beberapa jenis tumbuhan yang dapat menyediakan tempat perlindungan, sumber pakan atau sumberdaya yang lain bagi musuh alami seperti predator dan parasitoid. Finbarr G. Horgan et al. / Procedia Food Science 6 (2016) dalam journalnya yang berjudul “Applying ecological engineering for sustainable and resilient rice production systems” telah menguji coba potensi untuk 13 tanaman untuk digunakan dalam rekayasa ekolologi yaitu labu pahit, kacang hijau, ladyfinger (okra), kacang panjang, Cabai (Capsicum sp.), Kosmos (kenikir sayur) (Cosmos bipinnatus), kacang buncis (Vigna unguiculata L.), mentimun (Cucumis sativus L.), gambas ( Luffa sp.), labu (Cucurbita sp.), bunga matahari (Helianthus annuus L.), botol labu (Lagenaria siceraria Standl.) dan kecipir (Psophocarpus tetragonolobus [L.] de Candolle).

Tanaman ini ditanam di enam lokasi di  direplikasi dan dipantau selama pengembangan tanaman Sayuran. Setelah diamati ternyata tanaman refugia memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keanekaragaman dan kelimpahan musuh alami dan penyerbuk dengan mentimun, labu, gambas, dan labu pahit menarik sejumlah besar baik penyerbuk dan menguntungkan tawon parasitoid. Sistem ini juga memiliki kelimpahan yang lebih tinggi dan peningkatan aktivitas burung pemakan serangga. Selain itu, banyak dari tanaman, termasuk mentimun, kacang hijau, botol labu, kacang panjang, gambas, Cabai, dan ladyfinger memproduksi sejumlah besar buah-buahan yang memiliki nilai ekonomis cukup tinggi. Insektisida yang digunakan di lahan rekayasa ekologis mengindikasikan jumlah aplikasi insektisida berkurang 75% dibandingkan dengan perlakuan kontrol petani.

 


. Gambar 3. Perbandingan kelimpahan musuh alami dan hama pada tanaman Sayuran

Sumber. Addina., et al., 2013

Dari diagram tersebut jelas bahwa dengan adanya vegetasi refugia akan meningatkan populasi serangga yang bertindak sebagai musuh alami pada hama. Kemudian, Norris dan Kogan (2000) menganalisis peran gulma atau tumbuhan liar lain sebagai penghubung antar trofi organisme baik langsung maupun tak langsung yang hidup dalam sebuah ekosistem pertanian. Gulma atau tumbuhan nontanaman (utama) dapat berperan sebagai sumber pakan alternatif organisme pengganggu selain tanaman utama, dan juga sebagai tempat musuh alami mendapatkan pakan atau inang. Dalam hal ini, gulma atau tumbuhan liar berperan sebagai jangkar atau penghubung antara bermacam organisme yang terkait dalam ekosistem tersebut.

Manipulasi habitat dilakukan dengan menanam tumbuhan berbunga (insectary plant) yang berfungsi sebagai sumber pakan, inang/mangsa alternatif, dan refuji bagi musuh alami. Tumbuhan berbunga menarik kedatangan serangga menggunakan karakter morfologi dan fisiologi dari bunga, yaitu ukuran, bentuk, warna, keharuman, periode berbunga, serta kandungan nektar dan polen. Kebanyakan dari serangga lebih menyukai bunga yang berukuran kecil, cenderung terbuka, dengan waktu berbunga yang cukup lama yang biasanya terdapat pada bunga dari famili Compositae atau Asteraceae

(Altieri et al., 2007).

Warna bunga bahan dasarnya dihasilkan oleh pigmen yang terdapat di dalam kromoplas atau vakuola sel pada jaringan floral. Warna ini dihasilkan melalui proses refleksi dan refraksi cahaya pada permukaan sel (Harborne, 1997). Selain warna, kandungan nektar dan polen pada bunga juga menjadi daya tarik bagi serangga yang uumnya mengandung gula sederhana (monosakarida), asam amino, protein, lemak, antioksidan, alkaloid, vitamin, asam organik, allantoin & asam allantoat, dekstrin, dan bahan inorganik lainnya seperti mineral dan airasam amino, protein, lemak, antioksidan, alkaloid, vitamin, asam organik, allantoin & asam allantoat, dekstrin, dan bahan inorganik lainnya seperti mineral dan air. Polen berfungsi sebagai makanan yang penting bagi serangga terutama larva lebah (Apidae), kumbang, lalat (Syrphidae dan Anthomyiidae), Colembolla, beberapa Orthopteroids dan kupu-kupu.

Selain karakter morfologi dan fisiologi dari bunga, faktor lain yang mempengaruhi kedatangan serangga pada suatu bunga adalah faktor lingkungan fisik yaitu cahaya, suhu, kelembapan, serta kecepatan dan arah angin. Respons serangga terhadap lingkungan fisik ini berbeda sehingga waktu aktifnya pun berbeda, yaitu pagi, siang, sore atau malam hari.

Pengelolaan Sistem Bertanam untuk Upaya Konservasi

Sayuran sebagai komoditas pangan sangat dibutuhkan dalam jumlah besar sehingga dalam proses budidaya akan senantiasa diusahakan optimal, begitupula pada metode refugia. Manajemen habitat diartikan sebagai upaya memanipulasi habitat lokal agar sesuai bagi musuh alami sehingga daya tekan terhadap populasi hama meningkat, dan salah satu di antaranya adalah dengan sistem tanam beragam (polyculture). Sistem tanam ini relatif mudah dan murah untuk dilakukan, secara ekonomi lebih menguntungkan, dan tidak mencemari lingkungan karena menggunakan masukan rendah, misalnya bahan organik sebagai pupuk, serta musuh alami, dan tanaman pemerangkap hama sebagai pengendali hama (Altieri & Nichols, 2004).

Adanya  tanaman lain dalam areal akan menyebabkan terjadi proses alami dan interaksi-interaksi biologi yang dapat mengoptimalkan sinergi fungsi dari komponen-komponennya, yaitu dengan terjaganya perkembangan populasi herbivora melalui peningkatan peran serangga predator dan antagonis (Nurindah, 2015).

Keragaman vegetasi melalui sistem tanam refugia merupakan praktek budidaya yang mudah diterapkan. Walaupun demikian, pemilihan jenis tanaman yang akan ditumpangsarikan dan sistem tanam yang tepat perlu dipertimbangkan untuk mendapatkan produktivitas lahan yang optimal dan mempunyai keuntungan sosial dan ekonomi yang sesuai dengan lokasi setempat (spesifik lokasi). Penerapan sistem tumpangsari hendaknya tidak menurunkan produksi secara nyata dari tanaman-tanaman yang dipadukan. Oleh karena itu diperlukan pengetahuan tentang pengaturan jarak tanam, populasi tanaman, serta umur panen untuk diterapkan dengan mempertimbangkan aspek pengendalian hama dan produktivitas lahan yang optimal.

Penanaman tanaman refugia pada tanaman Sayuran diusahakan sesaat pembuatan lahan selesai sehingga pada saat tanaman refugia berbunga Sayuran sudah mulai tumbuh sehingga dapat terhindar dari hama tanaman. Untuk tanaman sayuran sebelum pengolahan lahan selesai dapat dilakukan penanaman refugia sehinggga pada saat tanaman sayuran sudah besar tanaman refugia sudah mulai berbunga.

Konsep dan Program  Refugia untuk Petani

Metode penanaman refugia yang berbasis pada usaha menjaga ekosistem pertanaman sangat sesuai dengan konsep usaha pertanian ramah lingkungan, Pendekatan ini mendorong penggantian pestisida kimia dengan teknologi pengendalian alternatif, yang lebih memanfaatkan bahan dan metode hayati yakni  musuh alami. Dengan cara ini, dampak negatif penggunaan pestisida terhadap kesehatan dan lingkungan dapat dikurangi (Untung 2000).

Dalam program pengendalian hama, penambahan keragaman vegetasi bukan merupakan suatu strategi pengendalian yang dapat berdiri sendiri (standalone tactic) dalam menyelesaikan masalah hama yang ada. Teknik-teknik pengendalian hama yang penekanannya adalah pengendalian ramah lingkungan dengan pemanfaatan sumberdaya alam yang telah ada untuk menuju sistem pertanian yang berkelanjutan, perlu dikembangkan. Teknik-teknik tersebut difokuskan pada optimalisasi peran musuh alami sebagai faktor mortalitas biotik bagi serangga hama atau sebagai penghambat perkembangan patogen penyakit.

Faktor-faktor penyebab rentannya suatu agroekosistem terhadap eksplosi hama dapat diatasi dengan melakukan pengelolaan agroekosistem supaya menjadi lebih tahan terhadap eksplosi hama. Tujuan dari pengelolaan agroekosistem adalah menciptakan keseimbangan dalam lingkungan, hasil yang berkelanjutan, kesuburan tanah yang dikelola secara biologis dan pengaturan populasi hama melalui keragaman hayati serta penggunaan input yang rendah (Altieri, 2007).

Tujuan akhir dari pengelolaan agroekosistem adalah memadukan komponen-komponen yang ada sehingga efisiensi biologis dapat diperbaiki, keragaman hayati dapat dilestarikan dan dihasilkan produksi yang berkelanjutan. Pengendalian hama dengan pengelolaan agroekosistem pada dasarnya adalah teknik pengendalian hayati dengan mengoptimalkan peran musuh alami sebagai faktor pembatas perkembangan populasi herbivora dalam suatu ekosistem. Optimalisasi peran musuh alami tersebut dilakukan melalui peningkatan keragaman hayati dengan meningkatkan keragaman vegetasi. Peningkatan keragaman vegetasi dilakukan melalui penerapan pola tanam polikultur dengan pengaturan agronomis yang optimal, sehingga didapatkan produktivitas lahan yang optimal dan berkelanjutan.

Kendala umum dalam pengendalian secara hayati adalah masih banyak petani belum menyadari manfaat sistem refugia. Oleh karena itu, perlu adanya dorongan pada petani untuk mengetahui pemanfaatan lahan pertanian sesuai dengan konsep ramah lingkungan sehingga harapan pencapaian produksi maupun produktivitas tanaman dapat tercapai tanpa mengesampingkan tetap terjaganya lingkungan pertanian.

 

PENUTUP

Kesimpulan

Penanaman tanaman refugia merupakan upaya untuk mengoptimalisasi peran musuh alami dari berbagai jenis hama yang menyerang tanaman yang dlakukan dilakukan melalui peningkatan keragaman hayati dengan meningkatkan keragaman vegetasi. Langkah tersebut ditujukan sebagai alternatif untuk menekan penggunaan pestisida pada perlindungan tanaman serta sebagai upaya terwujudnya pertanian yang ramah lingkungan untuk mencapai produktivitas Sayuran nasional..

Saran

Dalam pembangunan pertanian yang berbasis agroekologi diperlukannya suatu kebijakan ekonomi yang dibuat oleh pemerintah, agar dalam skala nasional sektor pertanian mampu memberikan konstribusi dalam pertumbuhan Negara Indonesia itu sendiri, sehingga sector pertanian dapat maju. Perlu penelitian lebih lanjut terkait manfaaat jenis-jenis tanaman terhadap pengaruh kehadiran predator alami untuk mengendalikan hama tertentu, sehingga suatu jenis tanaman dapat digunakan secara pasti oleh petani untuk mengendalikan hama yang mengancam tanaman.

 


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Addina., Lu’aili., et al., 2013. Efek Perpaduan Beberapa Tumbuhan Liar di Sekitar Area Pertanaman Sayuran dalam Menarik Arthropoda Musuh Alami dan Hama. Program Studi Biologi Fakultas MIPA Universitas Brawijaya Malang. Efek Perpaduan Beberapa Tumbuhan Liar (71-81). Vol. 3, No.2 Maret 2013

Altieri, M. A. & C.I. Nichols. 2004. Biodiversity and Pest Management in Agroecosystem. 2nd Edition. Haworth Press Inc., New York. 236 p.

Altieri, M.A., L. Ponti, & C.I. Nichols. 2007. MengendalikanHama dengan Diversifikasi Tanaman. hlm. 10−13. http://www.salamleisa info, diakses 4 /2/14.

Andow, D.A. 1991. Vegetation Diversity and Arthropod Population Response. Annual Review of Entomology 36: 561−586.

Biro Pusat Statistik. 1991. Luas dan intensitas serangan jasad pengganggu Sayuran dan palawija di pulau Jawa tahun 1991. Biro Pusat Statistik, Jakarta.

Cassman, K.G. & P.L. Pingali. 1995. Intensification of Irrigated Rice Systems: Learning from the Past to Meet Future Challenges. GeoJournal 35: 299−305

Horgan, F. G., Ramal, A. F., Bernal, C. C., Villegas, J. M., Stuart, A. M., & Almazan, M. L. (2016). Applying ecological engineering for sustainable and resilient rice production systems. Procedia Food Science, 6, 7-15.

Harborne, J.B. 1997. Introduction to Ecological Biochemistry. 4th ed. Academic Press, London, UK.

Kurniawati, N., & Martono, E. 2015. Peran Tumbuhan Berbunga Sebagai Media Konservasi Artropoda Musuh Alami The Role Of Flowering Plants In Conserving Arthropod Natural Enemies. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia, 19(2), 53-59.

Landis, D.A., F.D. Menalled, & A.C. Costamagna. 2005. Manipulating Plant Resources to Enhance Beneficial Arthropods in Agricultural Landscapes. Weed Sciences 53: 902−908.

Norris, R.F. & M. Kogan. 2000. Interactions between Weeds, Arthropod Pests, and their Natural Enemies in Managed Ecosystems. Weed Science 48: 94−158.

Nurindah, N. 2015. Pengelolaan Agroekosistem dalam Pengendalian Hama. Perspektif, 5(2), 78-85.

Untung, K. 2000. Pelembagaan konsep pengendalian hama terpadu Indonesia. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia 6(1): 1-8.

 

Heri Kurniawan

Revitalisasi perkebunan kakao Sulawesi Selatan