MEMBANGKITKAN
KEMBALI KEJAYAAN KAKAO SULAWESI SELATAN DENGAN REVITALISASI LAHAN KAKAO
Indonesia merupakan negara produsen utama
kakao dunia. Luas areal tanaman kakao Indonesia tercatat 1,4 juta hektar dengan
produksi kurang lebih 500 ribu ton pertahun, menempatkan Indonesia sebagai
negara produsen terbesar ketiga dunia setelah Evory Coast (Pantai Gading) dan
Ghana. Pantai Gading, dengan luas area 1,6 Ha dan produksinya sebesar 1,3 juta
ton per tahun dan Ghana sebesar 900 ribu ton per tahun (Tempo, 2012).
Kakao merupakan salah satu komoditas
andalan perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional,
khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan dan devisa negara.
Disamping itu kakao juga berperan dalam mendorong pengembangan wilayah dan
pengembangan agroindustri. Menurut Departemen perindustrian, Pada tahun 2002
perkebunan kakao telah menyediakan lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi
sekitar 900 ribu kepala keluarga petani yang sebagian besar berada di Kawasan
Timur Indonesia (KTI) serta memberikan sumbangan devisa terbesar ke tiga sub
sektor perkebunan setelah karet dan minyak sawit dengan nilai sebesar US $ 701
juta.
Kabupaten luwu dan sekitarnya menjadi
salah satu daerah produksi kakao terbesar di Indonesia sejak tahun 1960-an dan
menjadi primadona di kalangan masyarakat di akhir tahun 1980-an hingga 1990-an
dengan produksi hingga 700 kg/ha, awal tahun 2000 gejala yang diakibatkan oleh
hama penggerek buah kakao menyerang tanaman sehingga menyebabkan produksi kakao
turun drastis. Perkebunan yang dahulu ditanami kakao kini banyak beralih
menjadi tanaman perkebunan lain misal cengkeh dan kelapa sawit selain itu
sebagian mengganti pertanaman dengan tanaman buah-buahan seperti durian dan
rambutan.
Salah satu
kecamatan di kabupaten Luwu yang mengalami dampak penurunan produktivitas kakao
adalah kecamatan Larompong, kecamatan dengan luas 225,25 km2 pada
tahun 2016 kakao dihasilkan produksi sebesar 169,75 ton dari perkebunan milik masyarakat
yang tersisa seluas 489 Ha. Untuk meningkatkan kembali produksi komoditas kakao
khususnya di kecamatan larompong harus dilaksanakan perencanaan wilayah
perkebunan berupa revitalisasi lahan, pembukaan area pertanian baru, maupun
pertanaman campuran dengan menggunakan bibit tanaman unggul.
Sulawesi Selatan termasuk salah satu
sentra produksi kakao di Indonesia. Menurut La Ode Asrul yang merupakan dosen
Unhas menyebutkan adanya serangan hama Penggerek Buah Kakao (PBK) berpengaruh
langsung terhadap produksi kakao karena menyebabkan kehilangan hasil hingga 82,2
%. Salah satu penyebab terjadinya serangan berat hama PBK karena manajemen yang
kurang baik. Hal ini terjadi karena belum adanya zonasi yang representatif
mengenai karakteristik lingkungan penyebaran hama PBK pada pertanaman kakao
Dalam rangka mewujudkan perbaikan
kesejahteraan petani, upaya yang dapat dilakukan kaitannya dengan pengembangan
kakao adalah intensifikasi, ekstensifikasi, peremajaan, rehabilitasi, dan
peningkatan kualitas biji kakao. Dalam hal ini pemerintah telah merealisasikan
Gerakan Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao Nasional (GERNAS) melalui kegiatan
peremajaan, rehabilitasi, dan intensifikasi kakao selama kurun waktu tahun
2009-2012. Upaya pengembangan tersebut juga perlu ditunjang penyediaan
fasilitas agribisnis meliputi informasi pasar, jaminan pasar, permodalan dan
hubungan kemitraan dalam pemasaran hasil. Berbagai kegiatan dan fasilitas
tersebut tidak terlepas dari keterlibatan pemerintah dan para pemangku
kepentingan lain dengan memposisikan petani sebagai subjek pengembangan kakao
meskipun tingkat kepemilikan lahan mayoritas petani kakao hanya rata-rata
1,03/ha. Keberhasilan pengembangan komoditas kakao melalui optimalisasi potensi
wilayah dan sumber daya lokal akan memberikan dampak positif terhadap kegiatan
agribisnis kakao yang berdayasaing dan berkelanjutan. Pada akhirnya, komoditas
kakao memiliki potensi besar sebagai produk ekonomi sektor perkebunan yang
mampu memperkuat posisi ekonomi dan mengangkat taraf hidup para petani.
Potensi ekonomi komoditas kakao umumnya
terletak pada harga dan peluang pasar. Ditinjau dari sisi harga, faktor inilah
yang mampu menarik minat petani untuk menanam dan membudidayakan kakao secara
berkelanjutan. Dalam mengusahakan suatu komoditas, para petani menghendaki
harga jual yang tinggi sebagai imbalan atas biaya produksi yang telah
dikeluarkan. Perkembangan harga kakao di pasar domestik pada dasarnya akan
mengikuti pergerakan harga yang terjadi di pasar internasional. Kondisi
tersebut dibuktikan secara visual dengan melihat kecenderungan harga yang saling
berhimpitan antar kedua pasar.
Komoditas kakao memiliki potensi ekonomi
yang cukup besar untuk memperbaiki kesejahteraan hidup para petani.
Karakteristik dari komoditas ini yang dapat merangsang minat petani untuk
membudidayakannya adalah harga. Adanya jaminan terhadap harga dan didukung
kepastian pemasaran hasil, akan menjadikan komoditas kakao semakin dilirik
untuk dikembangkan.
Fenomena penurunan produksi, peningkatan
permintaan pasar dan dibarengi dengan stok kakao yang semakin menurun,
memberikan peluang bagi Indonesia untuk menaikkan produksi kakao dalam memenuhi
permintaan domestik dan permintaan ekspor. Hal ini akan membawa peningkatan
pendapatan negara dan membuka kesempatan kerja di sektor perkebunan.
Selanjutnya, keadaan tersebut diharapkan dapat memberikan keuntungan bagi
petani secara langsung dari segi pendapatan rumah tangga.
Wacana pembangunan kembali lahan
kakao ini tengah kembali digencarkan oleh berbagai pihak termasuk pemerintah
dan para petani, hingga diharapkan pada tahun 2025 Kakao sulawesi selatan
khususnya di daerah Luwu Raya dapat kembali mendunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar