Minggu, 10 November 2019

Revitalisasi perkebunan kakao Sulawesi Selatan


MEMBANGKITKAN KEMBALI KEJAYAAN KAKAO SULAWESI SELATAN DENGAN REVITALISASI LAHAN KAKAO
Indonesia merupakan negara produsen utama kakao dunia. Luas areal tanaman kakao Indonesia tercatat 1,4 juta hektar dengan produksi kurang lebih 500 ribu ton pertahun, menempatkan Indonesia sebagai negara produsen terbesar ketiga dunia setelah Evory Coast (Pantai Gading) dan Ghana. Pantai Gading, dengan luas area 1,6 Ha dan produksinya sebesar 1,3 juta ton per tahun dan Ghana sebesar 900 ribu ton per tahun (Tempo, 2012).
Kakao merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan dan devisa negara. Disamping itu kakao juga berperan dalam mendorong pengembangan wilayah dan pengembangan agroindustri. Menurut Departemen perindustrian, Pada tahun 2002 perkebunan kakao telah menyediakan lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu kepala keluarga petani yang sebagian besar berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI) serta memberikan sumbangan devisa terbesar ke tiga sub sektor perkebunan setelah karet dan minyak sawit dengan nilai sebesar US $ 701 juta.
Kabupaten luwu dan sekitarnya menjadi salah satu daerah produksi kakao terbesar di Indonesia sejak tahun 1960-an dan menjadi primadona di kalangan masyarakat di akhir tahun 1980-an hingga 1990-an dengan produksi hingga 700 kg/ha, awal tahun 2000 gejala yang diakibatkan oleh hama penggerek buah kakao menyerang tanaman sehingga menyebabkan produksi kakao turun drastis. Perkebunan yang dahulu ditanami kakao kini banyak beralih menjadi tanaman perkebunan lain misal cengkeh dan kelapa sawit selain itu sebagian mengganti pertanaman dengan tanaman buah-buahan seperti durian dan rambutan.
Salah satu kecamatan di kabupaten Luwu yang mengalami dampak penurunan produktivitas kakao adalah kecamatan Larompong, kecamatan dengan luas 225,25 km2 pada tahun 2016 kakao dihasilkan produksi sebesar 169,75 ton dari perkebunan milik masyarakat yang tersisa seluas 489 Ha. Untuk meningkatkan kembali produksi komoditas kakao khususnya di kecamatan larompong harus dilaksanakan perencanaan wilayah perkebunan berupa revitalisasi lahan, pembukaan area pertanian baru, maupun pertanaman campuran dengan menggunakan bibit tanaman unggul.
Sulawesi Selatan termasuk salah satu sentra produksi kakao di Indonesia. Menurut La Ode Asrul yang merupakan dosen Unhas menyebutkan adanya serangan hama Penggerek Buah Kakao (PBK) berpengaruh langsung terhadap produksi kakao karena menyebabkan kehilangan hasil hingga 82,2 %. Salah satu penyebab terjadinya serangan berat hama PBK karena manajemen yang kurang baik. Hal ini terjadi karena belum adanya zonasi yang representatif mengenai karakteristik lingkungan penyebaran hama PBK pada pertanaman kakao
Dalam rangka mewujudkan perbaikan kesejahteraan petani, upaya yang dapat dilakukan kaitannya dengan pengembangan kakao adalah intensifikasi, ekstensifikasi, peremajaan, rehabilitasi, dan peningkatan kualitas biji kakao. Dalam hal ini pemerintah telah merealisasikan Gerakan Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao Nasional (GERNAS) melalui kegiatan peremajaan, rehabilitasi, dan intensifikasi kakao selama kurun waktu tahun 2009-2012. Upaya pengembangan tersebut juga perlu ditunjang penyediaan fasilitas agribisnis meliputi informasi pasar, jaminan pasar, permodalan dan hubungan kemitraan dalam pemasaran hasil. Berbagai kegiatan dan fasilitas tersebut tidak terlepas dari keterlibatan pemerintah dan para pemangku kepentingan lain dengan memposisikan petani sebagai subjek pengembangan kakao meskipun tingkat kepemilikan lahan mayoritas petani kakao hanya rata-rata 1,03/ha. Keberhasilan pengembangan komoditas kakao melalui optimalisasi potensi wilayah dan sumber daya lokal akan memberikan dampak positif terhadap kegiatan agribisnis kakao yang berdayasaing dan berkelanjutan. Pada akhirnya, komoditas kakao memiliki potensi besar sebagai produk ekonomi sektor perkebunan yang mampu memperkuat posisi ekonomi dan mengangkat taraf hidup para petani.
Potensi ekonomi komoditas kakao umumnya terletak pada harga dan peluang pasar. Ditinjau dari sisi harga, faktor inilah yang mampu menarik minat petani untuk menanam dan membudidayakan kakao secara berkelanjutan. Dalam mengusahakan suatu komoditas, para petani menghendaki harga jual yang tinggi sebagai imbalan atas biaya produksi yang telah dikeluarkan. Perkembangan harga kakao di pasar domestik pada dasarnya akan mengikuti pergerakan harga yang terjadi di pasar internasional. Kondisi tersebut dibuktikan secara visual dengan melihat kecenderungan harga yang saling berhimpitan antar kedua pasar.
Komoditas kakao memiliki potensi ekonomi yang cukup besar untuk memperbaiki kesejahteraan hidup para petani. Karakteristik dari komoditas ini yang dapat merangsang minat petani untuk membudidayakannya adalah harga. Adanya jaminan terhadap harga dan didukung kepastian pemasaran hasil, akan menjadikan komoditas kakao semakin dilirik untuk dikembangkan.
Fenomena penurunan produksi, peningkatan permintaan pasar dan dibarengi dengan stok kakao yang semakin menurun, memberikan peluang bagi Indonesia untuk menaikkan produksi kakao dalam memenuhi permintaan domestik dan permintaan ekspor. Hal ini akan membawa peningkatan pendapatan negara dan membuka kesempatan kerja di sektor perkebunan. Selanjutnya, keadaan tersebut diharapkan dapat memberikan keuntungan bagi petani secara langsung dari segi pendapatan rumah tangga.
            Wacana pembangunan kembali lahan kakao ini tengah kembali digencarkan oleh berbagai pihak termasuk pemerintah dan para petani, hingga diharapkan pada tahun 2025 Kakao sulawesi selatan khususnya di daerah Luwu Raya dapat kembali mendunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Heri Kurniawan

Revitalisasi perkebunan kakao Sulawesi Selatan