PENGENDALIAN BERBASIS EKOLOGI DENGAN METODE
PENANAMAN REFUGIA UNTUK MENDUKUNG PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI NASIONAL
Karya
ini Disusun untuk Mengikuti Lomba Essay Plant Protection Olympiad 2017
“Rekayasa ekologis untuk meningkatkan produktivitas
dengan menggunakan
prinsip Pengelolaan Hama Terpadu (PHT).”
Di susun oleh:
Heri Kurniawan
(NIM. G111 15 306/ 2015)
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
Pengendalian Berbasis Ekologi dengan Metode Penanaman
Refugia untuk Mendukung Peningkatan Produktivitas Padi Nasional
Heri Kurniawan
Universitas Hasanuddin
Pendahuluan
Padi
menjadi komoditas yang tidak terpisahkan bagi masyarakat Indonesia yang
mengkonsumsinya sebagai bahan makanan pokok. Tingginya jumlah penduduk
Indonesia yang terus berkembang menjadi salah satu kendala terhadap pemenuhan
kebutuhan pangan di Indonesia. Selain itu adanya serangan hama juga merupakan
suatu kendala karena dapat menurunkan produksi pertanian di Indonesia.
Menurunnya hasil pertanian yang disebabkan oleh serangan hama terjadi setiap
musim tanam dengan kerusakan mencapai 15-20% tiap tahunnya, hampir di setiap
musim terjadi ledakan hama pada pertanaman padi. Hama utama tanaman padi
seperti tikus, penggerek batang padi, dan wereng coklat. Beberapa hama lainnya yang
berpotensi merusak pertanaman padi adalah wereng punggung putih, wereng hijau,
lembing batu, ulat grayak, pelipat daun, dan walang sangit. Penggerek batang
merupakan serangga hama yang terdapat pada semua ekosistem padi dan menyerang tanaman
sejak di persemaian hingga pertanaman (Biro Pusat Statistik 1991).
Dari berbagai
jenis hama yang menyerang tanaman padi pengendalian dengan cara kimiawi masih
dianggap cara yang instant dan efisen namun apabila ditinjau dari model pertanian
berbasis masukan bahan kimia-sintetik, cara tersebut seringkali menimbulkan
kerugian terhadap lingkungan berupa pencemaran dan kematian beberapa jenis
serangga berguna seperti musuh alami (predator dan parasitoid) dan serangga
penyerbuk. Apalagi umumnya model pertanaman padi sawah adalah sistem monokultur
sehingga berpotensi menimbulkan ketidakstabilan ekosistem akibat rendahnya
keragaman hayati yang menopang ekosistem tersebut (Cassman & Pingali,
1995), yang dapat menyebabkan peledakan hama. Oleh karena itu, alternatif
strategi budidaya yang berbasis keragaman hayati diusahakan melalui penyediaan
ekosistem yang ramah pada musuh alami hama (Landis et al., 2005).
Salah
satu upaya tersebut adalah melalui penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT)
dengan memanfaatkan agen hayati yakni dengan penanaman tanaman refugia, metode tersebut dilakukan dengan penanaman
berbagai jenis tumbuhan sebagai mikrohabitat yang dapat menyediakan tempat
perlindungan, sumber pakan atau sumberdaya yang lain bagi musuh alami seperti
predator dan parasitoid.
Metode Penanaman
tanaman refugia banyak diterapkan diberbagai negara penghasil beras seperti
Thailand, Vietnam, dan Filipina sementara di Indonesia metode penanaman refugia
umumnya baru diterapkan di Pulau Jawa seperti di Jawa Tengah, Jogjakarta, dan
Jawa timur. Untuk wilayah yang lain rata-rata petani padi masih sangat awam
dengan metode tersebut, sehingga perlu adanya penjelasan, pengkajian, dan
penelitian agar manfaat dari refugia
dapat dirasakan oleh seluruh petani agar tercapai keuntungan ekonomi maupun terjaganya
lingkungan ekologi.
Tujuan
dari penulisan essay adalah untuk memberi solusi alternatif upaya konservasi
dan pengendalian yang berbasis ekologi pada ekosistem pertanian khususnya pada
tanaman padi, dan memberi masukan terkait upaya yang harus dilakukan agar
petani di seluruh Indonesia dapat merasakan manfaat dari metode penanaman
refugia.
Manfaat
yang dapat diperoleh yakni pengarahan terkait metode penanaman jenis tanaman
refugia sebagai usaha pengendaian organisme pengganggu tanaman dengan rekayasa
ekologi untuk meningkatkan produktivitas dengan menggunakan prinsip pengelolaan
hama terpadu sehingga menekan biaya input khususnya bahan kimia untuk pengendalian
hama dan penyakit tanaman bagi petani padi.
Refugia Sebahgai Sistem Konservasi Musuh
Alami
Salah
satu upaya untuk menciptakan ekosistem pertanian yang lestari adalah dengan
memanfaatkan musuh alami sebagai pengendali populasi organisme pengganggu
tanaman, atau umum disebut dengan pengendalian hayati. Pengendalian hayati
sebenarnya merupakan suatu fenomena alamiah, sehingga dapat dianggap aman bagi
lingkungan. Meskipun demikian, pengendalian hayati tidak mudah diterapkan dan
dikelola, karena musuh alami membutuhkan lingkungan biotik maupun abiotik yang
optimal. Oleh karena itu, pemahaman tentang hubungan antara musuh alami, mangsa
(inang), dan lingkungan menjadi sangat penting (Kurniawati dan Martono, 2015).
Salah
satu strategi untuk mengoptimalkan fungsi dan peran musuh alami yang paling
rasional adalah konservasi lingkungan dalam rangka menyediakan pakan yang cukup
dan lingkungan pertumbuhan dan perkembangan yang nyaman bagi organisme musuh
alami (Andow, 1991). Landis et al. (2005) menyebutkan bahwa banyak tanaman
dan tumbuhan merupakan sumber pakan langsung bagi organisme musuh alami,
misalnya dengan menyediakan nektar dan polen, dan secara tidak langsung
menyediakan mangsa dan inang, di samping mengelola iklim mikro yang sesuai
dengan kebutuhan hidup musuh alami.
Refugia
merupakan suatu area yang ditumbuhi beberapa jenis tumbuhan yang dapat
menyediakan tempat perlindungan, sumber pakan atau sumberdaya yang lain bagi musuh
alami seperti predator dan parasitoid. Finbarr G. Horgan et al. / Procedia
Food Science 6 (2016) dalam journalnya yang berjudul “Applying
ecological engineering for sustainable and resilient rice production systems”
telah menguji coba potensi untuk 13 tanaman untuk digunakan dalam rekayasa
ekolologi yaitu labu pahit, kacang hijau, ladyfinger (okra), kacang panjang,
Cabai (Capsicum sp.), Kosmos (kenikir sayur) (Cosmos bipinnatus),
kacang buncis (Vigna unguiculata L.), mentimun (Cucumis sativus
L.), gambas ( Luffa sp.), labu (Cucurbita sp.), bunga
matahari (Helianthus annuus L.), botol labu (Lagenaria siceraria
Standl.) dan kecipir (Psophocarpus tetragonolobus [L.] de Candolle).
Tanaman
ini ditanam di enam lokasi di pematang direplikasi dan dipantau selama
pengembangan tanaman padi. Setelah diamati ternyata tanaman refugia memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap keanekaragaman dan kelimpahan musuh alami dan
penyerbuk dengan mentimun, labu, gambas, dan labu pahit menarik sejumlah besar
baik penyerbuk dan menguntungkan tawon parasitoid. Sistem ini juga memiliki
kelimpahan yang lebih tinggi dan peningkatan aktivitas burung pemakan serangga.
Selain itu, banyak dari tanaman, termasuk mentimun, kacang hijau, botol labu,
kacang panjang, gambas, Cabai, dan ladyfinger memproduksi sejumlah besar
buah-buahan yang memiliki nilai ekonomis cukup tinggi. Insektisida yang
digunakan di sawah rekayasa ekologis mengindikasikan jumlah aplikasi
insektisida berkurang 75% dibandingkan dengan perlakuan kontrol oleh petani.
Sumber. Addina., et al., 2013
Dari
diagram tersebut jelas bahwa dengan adanya vegetasi refugia akan meningatkan
populasi serangga yang bertindak sebagai musuh alami pada hama. Kemudian,
Norris dan Kogan (2000) menganalisis peran gulma atau tumbuhan liar lain
sebagai penghubung antar trofi organisme baik langsung maupun tak langsung yang
hidup dalam sebuah ekosistem pertanian. Gulma atau tumbuhan nontanaman (utama)
dapat berperan sebagai sumber pakan alternatif organisme pengganggu selain
tanaman utama, dan juga sebagai tempat musuh alami mendapatkan pakan atau
inang. Dalam hal ini, gulma atau tumbuhan liar berperan sebagai jangkar atau penghubung
antara bermacam organisme yang terkait dalam ekosistem tersebut.
Manipulasi
habitat dilakukan dengan menanam tumbuhan berbunga (insectary plant)
yang berfungsi sebagai sumber pakan, inang/mangsa alternatif, dan refuji bagi
musuh alami. Tumbuhan berbunga menarik kedatangan serangga menggunakan karakter
morfologi dan fisiologi dari bunga, yaitu ukuran, bentuk, warna, keharuman,
periode berbunga, serta kandungan nektar dan polen. Kebanyakan dari serangga
lebih menyukai bunga yang berukuran kecil, cenderung terbuka, dengan waktu berbunga
yang cukup lama yang biasanya terdapat pada bunga dari famili Compositae atau
Asteraceae
(Altieri et al., 2007).
Warna
bunga bahan dasarnya dihasilkan oleh pigmen yang terdapat di dalam kromoplas
atau vakuola sel pada jaringan floral. Warna ini dihasilkan melalui proses
refleksi dan refraksi cahaya pada permukaan sel (Harborne, 1997). Selain warna,
kandungan nektar dan polen pada bunga juga menjadi daya tarik bagi serangga
yang uumnya mengandung gula sederhana (monosakarida), asam amino, protein,
lemak, antioksidan, alkaloid, vitamin, asam organik, allantoin & asam
allantoat, dekstrin, dan bahan inorganik lainnya seperti mineral dan airasam
amino, protein, lemak, antioksidan, alkaloid, vitamin, asam organik, allantoin
& asam allantoat, dekstrin, dan bahan inorganik lainnya seperti mineral dan
air. Polen berfungsi sebagai makanan yang penting bagi serangga terutama larva
lebah (Apidae), kumbang, lalat (Syrphidae dan Anthomyiidae), Colembolla,
beberapa Orthopteroids dan kupu-kupu.
Selain
karakter morfologi dan fisiologi dari bunga, faktor lain yang mempengaruhi
kedatangan serangga pada suatu bunga adalah faktor lingkungan fisik yaitu
cahaya, suhu, kelembapan, serta kecepatan dan arah angin. Respons serangga
terhadap lingkungan fisik ini berbeda sehingga waktu aktifnya pun berbeda,
yaitu pagi, siang, sore atau malam hari.
Pengelolaan Sistem Bertanam untuk Upaya
Konservasi
Padi
sebagai komoditas pangan sangat dibutuhkan dalam jumlah besar sehingga dalam
proses budidaya akan senantiasa diusahakan optimal, begitupula pada metode
refugia. Manajemen habitat diartikan sebagai upaya memanipulasi habitat lokal
agar sesuai bagi musuh alami sehingga daya tekan terhadap populasi hama
meningkat, dan salah satu di antaranya adalah dengan sistem tanam beragam (polyculture).
Sistem tanam ini relatif mudah dan murah untuk dilakukan, secara ekonomi lebih
menguntungkan, dan tidak mencemari lingkungan karena menggunakan masukan
rendah, misalnya bahan organik sebagai pupuk, serta musuh alami, dan tanaman
pemerangkap hama sebagai pengendali hama (Altieri & Nichols, 2004).
Adanya tanaman lain dalam areal persawahan akan
menyebabkan terjadi proses alami dan interaksi-interaksi biologi yang dapat
mengoptimalkan sinergi fungsi dari komponen-komponennya, yaitu dengan
terjaganya perkembangan populasi herbivora melalui peningkatan peran serannga
predator dan antagonis (Nurindah, 2015).
Keragaman
vegetasi melalui sistem tanam refugia merupakan praktek budidaya yang mudah diterapkan.
Walaupun demikian, pemilihan jenis tanaman yang akan ditumpangsarikan dan
sistem tanam yang tepat perlu dipertimbangkan untuk mendapatkan produktivitas
lahan yang optimal dan mempunyai keuntungan sosial dan ekonomi yang sesuai
dengan lokasi setempat (spesifik lokasi). Penerapan sistem tumpangsari hendaknya
tidak menurunkan produksi secara nyata dari tanaman-tanaman yang dipadukan.
Oleh karena itu diperlukan pengetahuan tentang pengaturan jarak tanam, populasi
tanaman, serta umur panen untuk diterapkan dengan mempertimbangkan aspek
pengendalian hama dan produktivitas lahan yang optimal.
Penanaman
tanaman refugia pada tanaman padi diusahakan sesaat pembuatan pematang sawah
selesai sehingga pada saat tanaman refugia berbunga padi sudah mulai tumbuh
sehingga dapat terhindar dari hama tanaman. Untuk tanaman sayuran sebelum
pengolahan lahan selesai dapat dilakukan penanaman refugia sehinggga pada saat
tanaman sayuran sudah besar tanaman refugia sudah mulai berbunga.
Konsep dan Program Refugia untuk
Petani
Metode
penanaman refugia yang berbasis pada usaha menjaga ekosistem pertanaman sangat
sesuai dengan konsep usaha pertanian ramah lingkungan, Pendekatan ini mendorong
penggantian pestisida kimia dengan teknologi pengendalian alternatif, yang
lebih memanfaatkan bahan dan metode hayati yakni musuh alami. Dengan cara ini, dampak negatif
penggunaan pestisida terhadap kesehatan dan lingkungan dapat dikurangi (Untung
2000).
Dalam
program pengendalian hama, penambahan keragaman vegetasi bukan merupakan suatu
strategi pengendalian yang dapat berdiri sendiri (standalone tactic)
dalam menyelesaikan masalah hama yang ada. Teknik-teknik pengendalian hama yang
penekanannya adalah pengendalian ramah lingkungan dengan pemanfaatan sumberdaya
alam yang telah ada untuk menuju sistem pertanian yang berkelanjutan, perlu
dikembangkan. Teknik-teknik tersebut difokuskan pada optimalisasi peran musuh
alami sebagai faktor mortalitas biotik bagi serangga hama atau sebagai penghambat
perkembangan patogen penyakit.
Faktor-faktor
penyebab rentannya suatu agroekosistem terhadap eksplosi hama dapat diatasi
dengan melakukan pengelolaan agroekosistem supaya menjadi lebih tahan terhadap
eksplosi hama. Tujuan dari pengelolaan agroekosistem adalah menciptakan
keseimbangan dalam lingkungan, hasil yang berkelanjutan, kesuburan tanah yang
dikelola secara biologis dan pengaturan populasi hama melalui keragaman hayati
serta penggunaan input yang rendah (Altieri, 2007).
Tujuan akhir
dari pengelolaan agroekosistem adalah memadukan komponen-komponen yang ada sehingga
efisiensi biologis dapat diperbaiki, keragaman hayati dapat dilestarikan dan dihasilkan
produksi yang berkelanjutan. Pengendalian hama dengan pengelolaan agroekosistem
pada dasarnya adalah teknik pengendalian hayati dengan mengoptimalkan peran
musuh alami sebagai faktor pembatas perkembangan populasi herbivora dalam suatu
ekosistem. Optimalisasi peran musuh alami tersebut dilakukan melalui
peningkatan keragaman hayati dengan meningkatkan keragaman vegetasi.
Peningkatan keragaman vegetasi dilakukan melalui penerapan pola tanam polikultur
dengan pengaturan agronomis yang optimal, sehingga didapatkan produktivitas lahan
yang optimal dan berkelanjutan.
Kendala
umum dalam pengendalian secara hayati adalah masih banyak petani belum
menyadari manfaat sistem refugia. Oleh karena itu, perlu adanya dorongan pada
petani untuk mengetahui pemanfaatan lahan pertanian sesuai dengan konsep ramah
lingkungan sehingga harapan pencapaian produksi maupun produktivitas tanaman
dapat tercapai tanpa mengesampingkan tetap terjaganya lingkungan pertanian.
Kesimpulan
penanaman
tanaman refugia merupakan upaya untuk mengoptimalisasi peran musuh alami dari
berbagai jenis hama yang menyerang tanaman yang dlakukan dilakukan melalui
peningkatan keragaman hayati dengan meningkatkan keragaman vegetasi. Langkah
tersebut ditujukan sebagai alternatif untuk menekan penggunaan pestisida pada
perlindungan tanaman serta sebagai upaya terwujudnya pertanian yang ramah
lingkungan untuk mencapai produktivitas padi nasional..
Saran
Dalam
pembangunan pertanian yang berbasis agroekologi diperlukannya suatu kebijakan
ekonomi yang dibuat oleh pemerintah, agar dalam skala nasional sektor pertanian
mampu memberikan konstribusi dalam pertumbuhan Negara Indonesia itu sendiri,
sehingga sektor pertanian dapat maju. Perlu penelitian lebih lanjut terkait
manfaaat jenis-jenis tanaman terhadap pengaruh kehadiran predator alami untuk
mengendalikan hama tertentu, sehingga suatu jenis tanaman dapat digunakan
secara pasti oleh petani untuk mengendalikan hama yang mengancam tanaman.
DAFTAR PUSTAKA
Addina., Lu’aili., et al.,
2013. Efek Perpaduan Beberapa Tumbuhan Liar di Sekitar Area Pertanaman Padi
dalam Menarik Arthropoda Musuh Alami dan Hama. Program Studi Biologi Fakultas MIPA Universitas Brawijaya
Malang. Efek Perpaduan Beberapa Tumbuhan Liar (71-81). Vol. 3, No.2
Maret 2013
Altieri, M. A. & C.I. Nichols. 2004. Biodiversity
and Pest Management in Agroecosystem. 2nd Edition. Haworth Press
Inc., New York. 236 p.
Altieri, M.A., L. Ponti, & C.I. Nichols. 2007. MengendalikanHama
dengan Diversifikasi Tanaman. hlm. 10−13. http://www.salamleisa info,
diakses 4 /2/14.
Andow, D.A. 1991. Vegetation Diversity and Arthropod
Population Response. Annual Review of Entomology 36: 561−586.
Biro Pusat Statistik. 1991. Luas dan intensitas serangan
jasad pengganggu padi dan palawija di pulau Jawa tahun 1991. Biro Pusat
Statistik, Jakarta.
Cassman, K.G. & P.L. Pingali. 1995. Intensification
of Irrigated Rice Systems: Learning from the Past to Meet Future Challenges. GeoJournal
35: 299−305
Horgan, F. G., Ramal, A. F., Bernal, C. C.,
Villegas, J. M., Stuart, A. M., & Almazan, M. L. (2016). Applying
ecological engineering for sustainable and resilient rice production systems. Procedia
Food Science, 6, 7-15.
Harborne, J.B. 1997. Introduction to Ecological
Biochemistry. 4th ed. Academic Press, London, UK.
Kurniawati, N., & Martono, E. 2015. Peran Tumbuhan
Berbunga Sebagai Media Konservasi Artropoda Musuh Alami The Role Of Flowering
Plants In Conserving Arthropod Natural Enemies. Jurnal Perlindungan Tanaman
Indonesia, 19(2), 53-59.
Landis, D.A., F.D. Menalled, & A.C. Costamagna. 2005.
Manipulating Plant Resources to Enhance Beneficial Arthropods in Agricultural
Landscapes. Weed Sciences 53: 902−908.
Norris, R.F. & M. Kogan. 2000. Interactions between
Weeds, Arthropod Pests, and their Natural Enemies in Managed Ecosystems. Weed
Science 48: 94−158.
Nurindah, N. 2015. Pengelolaan Agroekosistem dalam
Pengendalian Hama. Perspektif, 5(2), 78-85.
Untung, K. 2000. Pelembagaan konsep pengendalian hama
terpadu Indonesia. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia 6(1): 1-8.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar