Sabtu, 11 Desember 2021

 Mannoreng’ Budaya Gotong Royong Membersihkan Lahan pada Masyarakat Bugis

Masyarakat Bugis merupakan salah satu suku yang masih mempertahankan budaya dan adat istiadatnya di Indonesia. Suku yang mendiami sebagian besar wilayah Sulawesi Selatan seperti Wajo, Soppeng, Bone, Sidenreng Rappang, Luwu, dan Barru memilik corak dan kekhasan dalam nilai tradisi budayanya. Dalam masyarakat Bugis, hubungan kekerabatan merupakan aspek utama, baik dinilai penting oleh anggotanya maupun fungsinya sebagai suatu struktur dasar dalam suatu tatanan masyarakat. Pengetahuan mendalam tentang prinsip-prinsip kekerabatan sangat penting bagi orang Bugis untuk membentuk tatanan sosial mereka. Aspek kekerabatan tersebut diantaranya seperti gotong royong. Tolong menolong atau kerja sama dalam suku bugis sangat dijunjung tinggi karena menyangkut hubungan sehari-haridalam bertetangga.

            Salah satunya adalah dalam bidang pertanian, sebelum proses pengolahan lahan banyak lahan pertanian yang ditumbuhi gulma sehingga perlu dilakukan pengendalian untuk mematikan atau mengurangi jumlah tumbuha liar yang tidak diinginkan. Lahan yang cukup luas dan jumlah sumber daya yang sedikit akan menghambat budidaya tanaman apa lagi petani tradisional banyak yang menunggu waktu yang tepat untuk bercocok tanam misalnya saja menunggu untuk memanfaatkan musim hujan, jika waktu antara pengendalian gulma, pengolahan lahan, dan penanaman tidak tepat akan menyebabkan kehilangan waktu dan kesempatan pada musim hujan.

Masyarakat Bugis mensiasati masalah tersebut dengan melakukan suatu kerja sama dalam membersihkan lahan yang biasa disebut dengan istilah “Mannoreng”. Mannoreng secara bahasa dapat diartikan sebagai “saling turun” hal ini lebih bermakna bahwa masyarakat bugis, turun untuk saling bekerja sama membersihkan lahan pertanian yang akan segera ditanami tanaman, dalam metode kerja sama tersebut dilakukan bersama sama biasanya antar beberapa lai-laki yakni kepala rumah tangga maupun anak- anak remaja yang beranjak dewasa.

Pembersihan dilakukan secara bergantian antar lahan satu ke lahan petani lainnya, secara beramai ramai melakukan pemangkasan, mencabut, ataupun menebang tanaman yang dianggap akan menghalangi  tanaman nantinya. Usaha tersebut dilakukan secara mekanis dan fisik menggunakan benda tajam misal parang, cangkul, celurit, dan lain sebagainya.

Pemberantasan merupakan usaha mematikan seluruh gulma yang ada baik yang sedang tumbuh maupun alat-alat reproduksinya, sehingga populasi gulma sedapat mungkin ditekan sampai nol. Menurut Sukman (2002) pengendalian gulma secara mekanis merupakan usaha menekan pertumbuhan gulma dengan cara merusak bagian-bagian tanaman sehingga gulma tersebut mati atau pertumbuhannya terhambat. Dalam praktiknya dilakukan secara tradisional dengan tangan, alat sederhana sampai penggunaan alat berat yang lebih modern, sehingga pengendalian secara mekanis dapat dilakukan dengan cara; pengolahan tanah, pencabutan, pembabatan, pembakaran dan penggenangan. Setyamidjaja (1992) menyatakan pengendalian secara mekanis secara tidak langsung ditujukan untuk menekan populasi gulma dengan cara mengolah tanahnya pada persiapan penanaman tebu. Dengan pengolahan tanah yang baik dimana tanah dihaluskan dan digemburkan serta pada kadar air tanah yang tepat, populasi gulma dan macam spesies gulma berubah dan dengan demikian dapat mengurangi persaingan terhadap tanaman tebu.

Pengolahan tanah dengan alat-alat seperti cangkul, bajak, garu, traktor dan sebagainya, pada umumnya juga berfungsi untuk mengendalikan gulma. Pengolahan tanah banyak mempengaruhi beberapa faktor penting bagi pertumbuhan gulma, yakni dapat membenamkan gulma dan menyebabkan kerusakan fisik karena dapat memotong akar gulma sehingga gulma mati disebabkan potongan-potongan akar akan mengering sebelum pulih kembali serta mengganggu kondisi hara tersebut (Sukman 2002).

Dampak Positif dan Negatif pada Gulma

a.   Pencabutan gulma (hand weeding atau hand pulling); cara ini juga biasa disebut penyiangan manual, efektif untuk mengendalikan gulma semusim dan dua musim, memiliki resiko kerusakan yang kecil pada tanaman budidaya, dan layak diterapkan untuk pengendalian gulma pada areal yang tidak luas. Namun dengan melakukan pencabutan waktu yang dibutuhkan lama sehingga tidak efektif jika waktu terbatas.

b.   Pembabatan (mowing); cara ini efektif diterapkan pada gulma semusim atau dua musim yang tidak mempunyai organ perkembangbiakan di dalam tanah seperti stolon dan umbi. Karena pada gulma yang mempunyai umbi akan kembali tumbuh dalam beberapa waktu selanjutnya. 

c.   Pengolahan tanah (soil tillage); pengaruh yang tidak langsung dari pengolahan tanah terhadap perkembangan gulma adalah terangkatnya deposit biji gulma yang ada di dalam tanah. Biji tersebut terekspose ke permukaan tanah dan berkecambah, gulma yang kemudian tumbuh akan dipotong dan dibenamkan secara otomatis melalui tindakan pengolahan tanah ke dua.

d.   Pembakaran (burning); pembakaran gulma menyebabkan terjadinya penggumpalan protoplasma gulma karena suhu tinggi sehingga bagian gulma tersebut akan mati. Bagian gulma yang tidak terbakar belum tentu ikut mati, contohnya seperti pembakaran padang alang-alang yang hanya memusnahkan bagian atas gulma, karena tidak lama berselang gulma alang-alang tersebut akan kembali tumbuh dengan memanfaatkan stolon yang berada di bawah permukaan tanah. Pengendalian gulma secara fisik-mekanis melalui pembakaran sering menimbulkan beberapa kerugian seperti timbulnya bencana kebakaran seperti yang terjadi di wilayah Sumatera, menguapnya bahan organik dari areal setempat (in situ), meningkatkan resiko erosi, dan mengakibatkan polusi udara.


Referensi 

Sukman Y. 2002. Gulma dan Teknik Pengendaliannya. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta

Setyamidjaja D, Azharni H. 1992. Tebu Bercocok Tanam dan Pascapanen. CV. Yasaguna. Jakarta.

 

Sumber gambar : Google Image

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Heri Kurniawan

Revitalisasi perkebunan kakao Sulawesi Selatan