Mannoreng’ Budaya Gotong Royong Membersihkan Lahan pada Masyarakat Bugis
Masyarakat Bugis merupakan salah satu suku yang masih
mempertahankan budaya dan adat istiadatnya di Indonesia. Suku yang mendiami
sebagian besar wilayah Sulawesi Selatan seperti Wajo, Soppeng, Bone, Sidenreng
Rappang, Luwu, dan Barru memilik corak dan kekhasan dalam nilai tradisi budayanya.
Dalam masyarakat Bugis, hubungan kekerabatan merupakan aspek utama, baik
dinilai penting oleh anggotanya maupun fungsinya sebagai suatu struktur dasar
dalam suatu tatanan masyarakat. Pengetahuan mendalam tentang prinsip-prinsip
kekerabatan sangat penting bagi orang Bugis untuk membentuk tatanan sosial
mereka. Aspek kekerabatan tersebut diantaranya seperti gotong royong. Tolong
menolong atau kerja sama dalam suku bugis sangat dijunjung tinggi karena
menyangkut hubungan sehari-haridalam bertetangga.
Salah
satunya adalah dalam bidang pertanian, sebelum proses pengolahan lahan banyak
lahan pertanian yang ditumbuhi gulma sehingga perlu dilakukan pengendalian
untuk mematikan atau mengurangi jumlah tumbuha liar yang tidak diinginkan.
Lahan yang cukup luas dan jumlah sumber daya yang sedikit akan menghambat
budidaya tanaman apa lagi petani tradisional banyak yang menunggu waktu yang
tepat untuk bercocok tanam misalnya saja menunggu untuk memanfaatkan musim
hujan, jika waktu antara pengendalian gulma, pengolahan lahan, dan penanaman
tidak tepat akan menyebabkan kehilangan waktu dan kesempatan pada musim hujan.
Masyarakat Bugis mensiasati masalah tersebut dengan melakukan suatu kerja sama dalam membersihkan lahan yang biasa disebut dengan istilah “Mannoreng”. Mannoreng secara bahasa dapat diartikan sebagai “saling turun” hal ini lebih bermakna bahwa masyarakat bugis, turun untuk saling bekerja sama membersihkan lahan pertanian yang akan segera ditanami tanaman, dalam metode kerja sama tersebut dilakukan bersama sama biasanya antar beberapa lai-laki yakni kepala rumah tangga maupun anak- anak remaja yang beranjak dewasa.
Pembersihan dilakukan secara bergantian antar lahan satu
ke lahan petani lainnya, secara beramai ramai melakukan pemangkasan, mencabut,
ataupun menebang tanaman yang dianggap akan menghalangi tanaman nantinya. Usaha tersebut dilakukan
secara mekanis dan fisik menggunakan benda tajam misal parang, cangkul,
celurit, dan lain sebagainya.
Pemberantasan
merupakan usaha mematikan seluruh gulma yang ada baik yang sedang tumbuh maupun
alat-alat reproduksinya, sehingga populasi gulma sedapat mungkin ditekan sampai
nol. Menurut Sukman (2002) pengendalian gulma secara mekanis merupakan usaha
menekan pertumbuhan gulma dengan cara merusak bagian-bagian tanaman sehingga
gulma tersebut mati atau pertumbuhannya terhambat. Dalam praktiknya dilakukan
secara tradisional dengan tangan, alat sederhana sampai penggunaan alat berat
yang lebih modern, sehingga pengendalian secara mekanis dapat dilakukan dengan
cara; pengolahan tanah, pencabutan, pembabatan, pembakaran dan penggenangan.
Setyamidjaja (1992) menyatakan pengendalian secara mekanis secara tidak
langsung ditujukan untuk menekan populasi gulma dengan cara mengolah tanahnya
pada persiapan penanaman tebu. Dengan pengolahan tanah yang baik dimana tanah
dihaluskan dan digemburkan serta pada kadar air tanah yang tepat, populasi gulma
dan macam spesies gulma berubah dan dengan demikian dapat mengurangi persaingan
terhadap tanaman tebu.
Pengolahan tanah dengan alat-alat seperti cangkul, bajak, garu, traktor dan sebagainya, pada umumnya juga berfungsi untuk mengendalikan gulma. Pengolahan tanah banyak mempengaruhi beberapa faktor penting bagi pertumbuhan gulma, yakni dapat membenamkan gulma dan menyebabkan kerusakan fisik karena dapat memotong akar gulma sehingga gulma mati disebabkan potongan-potongan akar akan mengering sebelum pulih kembali serta mengganggu kondisi hara tersebut (Sukman 2002).
Dampak Positif dan Negatif pada Gulma
a.
Pencabutan gulma (hand weeding atau hand pulling);
cara ini juga biasa disebut penyiangan manual, efektif untuk mengendalikan
gulma semusim dan dua musim, memiliki resiko kerusakan yang kecil pada tanaman
budidaya, dan layak diterapkan untuk pengendalian gulma pada areal yang tidak
luas. Namun dengan melakukan pencabutan waktu yang dibutuhkan lama sehingga
tidak efektif jika waktu terbatas.
b. Pembabatan (mowing); cara ini efektif diterapkan pada gulma semusim atau dua musim yang tidak mempunyai organ perkembangbiakan di dalam tanah seperti stolon dan umbi. Karena pada gulma yang mempunyai umbi akan kembali tumbuh dalam beberapa waktu selanjutnya.
c.
Pengolahan tanah (soil tillage); pengaruh yang tidak
langsung dari pengolahan tanah terhadap perkembangan gulma adalah terangkatnya
deposit biji gulma yang ada di dalam tanah. Biji tersebut terekspose ke permukaan
tanah dan berkecambah, gulma yang kemudian tumbuh akan dipotong dan dibenamkan
secara otomatis melalui tindakan pengolahan tanah ke dua.
d.
Pembakaran (burning); pembakaran gulma menyebabkan terjadinya penggumpalan
protoplasma gulma karena suhu tinggi sehingga bagian gulma tersebut akan mati.
Bagian gulma yang tidak terbakar belum tentu ikut mati, contohnya seperti
pembakaran padang alang-alang yang hanya memusnahkan bagian atas gulma, karena
tidak lama berselang gulma alang-alang
tersebut akan kembali tumbuh dengan
memanfaatkan stolon yang berada di bawah permukaan tanah. Pengendalian
gulma secara fisik-mekanis
melalui pembakaran sering menimbulkan beberapa kerugian seperti timbulnya
bencana kebakaran seperti yang terjadi di wilayah Sumatera, menguapnya bahan
organik dari areal setempat (in situ), meningkatkan resiko erosi, dan
mengakibatkan polusi udara.
Referensi
Sukman Y.
2002. Gulma dan Teknik Pengendaliannya. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta
Setyamidjaja
D, Azharni H. 1992. Tebu Bercocok Tanam dan Pascapanen. CV. Yasaguna. Jakarta.
Sumber
gambar : Google Image
Tidak ada komentar:
Posting Komentar