Minggu, 10 November 2019

Cekaman Salinitas





Cekaman Salinitas
Tanah salin di dunia meliputi “ salt marshes ” di zona temperate, dan daerah pasang surut (mangrove swamps) di daerah subtropik dan tropic. Ditaksir antara 400-900 juta ha lahan di dunia mempunyai problema salinitas. Tanah salin sangat banyak terdapat di daerah yang curah hujannya tidak mencukupi untuk pencucian (leaching). Problem salinitas terjadi pada daerah non irigasi sebagai akibat dari evaporasi dan transpirasi dari air bumi yang berkadar garam tinggi atau akibat dari input garam dari curah hujan (Didy Sopandie, 1998).
Salinisasi  tanah   adalah  masalah   yang  umum  dijumpai  di   daerah-daerah  dengan  curah hujan  rendah.  Jika  dikombinasikan  dengan  irigasi dan    kondisi    drainase    yang    buruk,  dapat  mengakibatkan  hilangnya kesuburan  tanah  secara  permanen.  Tipe  salinitas  seperti  ini  merupakan faktor   penyebab   krisis   kemanusiaan   yang   diakibatkan   oleh   kekeringan. Sementara  salinisasi  tanah yang muncul  sebagai akibat dari bencana alam yang    terjadi  dalam  waktu    singkat,    sampai    saat    ini    terbatas  hanya disebabkan  oleh    tsunami.  Karena  alasan  tersebut,  menyadari  bahwa banyak  organisasi  kemanusiaan  yang  bekerja  di  Aceh    mungkin    belum pernah    sebelumnya    menemukan    fenomena    seperti    ini,    dan  mungkin menjumpai  keterbatasan  dalam  mengakses  informasi  tentang  bagaimana mengidentifikasi    dan    menghadapi    persoalan    yang    berkaitan  dengan tanah  yang  telah terkontaminasi garam.   Hal  yang  menguntungkan  adalah bahwa    Aceh    dianugerahi    curah    hujan    yang    tinggi,  yang    tidak    biasa dijumpai    di    sebahagian    besar    daerah    yang    tanahnya    bergaram. Disamping  usaha-usaha    rehabilitasi    lahan  mendapatkan  banyak  manfaat dari    tingginya  curah    hujan    terhadap    garam    ini,    perlakuan-perlakuan konvensional    lainnya,    seperti  drainase    yang    baik,    tanaman-Tanaman  berakar dalam, gypsums, dapat diperkenalkan pada waktu dan tempat yang sesuai.
Tanah tergolong salin bila mengandung garam dalam jumlah yang cukup untuk mengganggu pertumbuhan kebanyakan spesies tanaman. Akan tetapi ini bukan merupakan jumlah yang tepat karena akan tergantung kepada spesies tanaman, tekstur tanah dan kandungan air tanah, seta komposisi garamnya sendiri. Sesuai dengan definisi yang dipakai oleh US Salinity Laboratory bahwa ekstrak jenuh (larutan yang diekstraksi dari tanah pada kondisi jenuh air) dari tanah salin mempunyai nilai DHL (daya hantar listrik, EC = electrical conductivity) lebih besar dari  4 deci Siemens/m (ekivalen dengan 40 mM NaCl) dan persentase natrium yang dapat dirukar  (ESP = exchangeable sodium percentage ) kurang dari 15.
Salinitas pada tanah merupakan kondisi tanah yang mengandung garam terlarut berlebih, terutama NaCl dan Na2SO4. Tanah dikategorikan salin apabila daya hantar listriknya (EC)>4 dS.m-1 dari ekstrak pasta tanah jenuh dan persentase natrium dapat ditukar (ESP)<15% (Gorham 2007). Konsentrasi garam yang tinggi ini, akan menyebabkan cekaman osmotik dan ionik pada tanaman yang ditanam pada tanah salin. Hal ini dapat menurunkan produktivitas tanaman dengan menghambat pertumbuhan tanaman (Hasanuzzaman et al. 2013). Koyro et al. (2012) melaporkan bahwa 19.5% lahan pertanian beririgasi di dunia diperkirakan telah terkena dampak salinitas.
Lahan salin di Indonesia mayoritas merupakan lahan pasang surut. Luas lahan pasang surut di Indonesia mencapai 20 juta ha (Alihamsyah 2004). Oleh karena itu, pengembangan varietas toleran salinitas perlu dilakukan. Ardie et al. (2015) telah mengidentifikasi sejumlah aksesi hotong dengan taraf toleransi berbeda terhadap salinitas pada fase kecambah. Akan tetapi, pertumbuhan dan produksi aksesi-aksesi tersebut pada kondisi salinitas di lapang belum diketahui.

Karakteristik lahan salin
Salinitas yang terdapat di Indonesia berbeda dengan salinitas yang terdapat di daerah semi-arid dan arid. Lahan salin di daerah semi-arid dan arid adalah lahan yang secara alami mempunyai kandungan garam tinggi yang disebabkan oleh tanah dan air tanah. Garam yang dominan dalam tanah salin adalah NaCl, Na2SO4, CaCl, MgSO4, dan MgCl (Ghafoor et al. 2004), sedangkan di Indonesia yang dianggap sebagai lahan salin adalah lahan yang mendapat intrusi air laut lebih dari empat bulan dalam setahun dan kandungan natrium dalam larutan tanah berkisar 8-15%.
Lahan salin yang tersebar di sepanjang pantai di indonesia mencapai seluas 400.000 ha. Pada masa yang akan datang, luas lahan salin akan semakin meningkat karena penurunan kualitas air dan curah hujan (Chinnusamy et al, 2005). Peningkatan luas lahan salin di Indonesia juga tidak dapat dihindari harus dikembangkan varietas dan teknik budidaya yang sesuai untuk lahan salin agar lahan tersebut dapat dimanfaatkan. Pemanfaatan lahan salin dimasa yang akan datang harus dimaksimalkan karena luas lahan pertanian subur yang terus berkurang seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Pemanfaatan lahan salin akan efisien jika menggunakan spesies atau varietas yang toleran dan adaptif serta teknik budidaya yang cocok. Pengembangan varietas yang toleran terhadap tanah salin pada berbagai komoditas sudah banyak dilakukan (Zhu et al, 2001; Zeng et al 2002; Hussain et al, 2003; Chinnusamy et al, 2005). Ambang batas EC dan persentase penurunan hasil pada beberapa spesies tanaman dijelaskan pada Tabel 1. Kacang hijau, terung, bawang merah, dan jagung tergolong peka Salinitas, sedangkan gandum, bir, gula, kapas, dan barley tergolong toleran salinitas (Ghafoor et al, 2004).
Tingkat toleransi beberapa jenis tanaman terhadap salinitas terdapat pada Tabel 2. Di antara bebagai tanaman, kelompok rumput-rumputan merupakan kelompok yang sangat toleran terhadap salinitas, tetapi padi yang dibudidayakan di daerah semi-arid dan arid adalah padi yang toleran terhadap salinitas. Beberapa varietas padi toleran terhadap salinitas adalah Kashmir Basmati dan NIAB-IRRI 9.
Table 1. Ambang batas salinitas beberapa
No
Jenis Tanaman
Ambang Batas Salinitas (ds/m)
Penurunan Hasil (%/dsm-1)
1
Kacang Hijau                               
1.0
19.0
2
Terung
1.1
6.9
3
Bawang Merah
1.2
16.0
4
Cabai
1.5
14.0
5
Jagung
1.7
12.0
6
Tebu
1.7
5.9
7
Kentang
1.7
12.0
8
Kubis
1.8
9.7
9
Tomat
2.5
9.9
10
Padi
3.0
12.0
11
Kacang Tanah
3.2
29.0
12
Kedelai
5.0
20.0
13
Gandum
6.0
7.1
14
Bit Gula
7.0
5.9
15
Kapas
7.7
5.2
16
Barley
8.0
5.0
Sumber: Ghafoor et al. (2004)

Mekanisme Adaptasi Tanaman Terhadap Cekaman Salinitas
            Permasalahan salinitas terus meningkat karena penurunak kualitas dan kuantitas drainase. Tanah yang dianggap sebagai tanah salin adalah tanah yang jika memiliki daya hantar listrik (EC = electric conductivity) lebih dari 4 ds/m, setara dengan 40 mM NaCl dalam larutan tanah.
            Menurut Ghafoor et al. (2014), salinitas merupakan cekaman abiotik yang mempengaruhi produktivitas dan kualitas tanaman. Salinitas menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan tanaman pada kondisi salin disebabkan oleh :
1. Penurunan potensial osmotik larutan tanah sehingga mengurangi ketersediaan air bagi tanaman
2. Peningkatan konsentrasi ion yang bersifat racun bagi tanaman atau memacu ketidak seimbangan metabolisme nutrisi perubahan struktur fisik dan kimia tanah.
Tabel 2. Tingkat adaptasi tanaman terhadap Na berdasarkan Na yang dapat ditukar di lapangan
Sangan Toleran
(Nadd>60)
Toleran (Nadd=40-60)
Medium Toleran
(Nadd20-40)
Peka
(Nadd10-20)
Sangat Peka
(Nadd2-10)
When grass
Gandum
Clovers
Kedelai
Alpukat
Grass
Kapas
Oats
Jagung
Jeruk
Tall wheat grass
Alfalfa
Padi
Kacang tanah
nuts

Barley

Lentil


Tomat

Sesame


Garden beet



Sumber: Ghafoor et al. (2004)
            Peningkatan osmotik atau penurunan potensial osmotik menyebabkan penurunan produktivitas tanaman karena penurunan penyerapan air. Pada kondisi salin, tanaman memerlukan lebih banyak energi untuk menyerap air dan mempertahankan turgor sel. Jika tanaman tidak mempunyai energi yang  cukup, penyerapan air dan aliran transpirasi akan menurun sehingga pertumbuhan dan produksi tanaman juga akan terganggu.
            Ketika tanaman ditanaman dalam kondisi salin , maka tanaman  mengalami ketidak seimbangan ion-ion yang dapat menyebabkan tosisitas bagi tanaman. Ketidak seimbangan ion-ion dalam larutan tanah dapat mempengaruhi penyerapan hara, misal kosentrasi ion Cl-, Na+, atau Mg+2 yang tinggi dalam larutan tanah dapat menurunkan penyerapan ion No3-, K+, Zn+, dan Ca+2. Keseimbangan penyerapan antara Ka+ dan Na+ atau rasio K/Na menjadi salah satu indikasi toleransi tanaman terhadap salinitas. Dalam kondisi salin, tanaman akan  mempertahankan gradien potensial air antara sel tanaman dan larutan tanah melalui penyesuaian osmotik. Penyesuaian fisiologi dalam tanaman melibatkan proses fotosintesis, produksi hormon, pembukaan stomata, respirasi, dan sintesis osmotikum.
Menurut Marschner (1995), mekanisme toleransi tehadap salinitas meliputi mekanisme ekslusi dan inklusi. Mekanisme ekslusi adalah mekanisme untuk mencegah defisit air secara internal denagn cara sintesis solut organik dan meningkatkan sukulensi. Sementara mekanisme inklusi adalah mekanisme untuk mencegah toksisitas ion-ion melalui jaringan yang mempunyai toleransi tinggi terhadap peningkatan konsentrasi garam dengan cara kompartementasi garam, sintesis solut kompatibel, dan pertukaran K+/Na+, serta penghindaran dari ion berkonsentrasi tinggi dengan cara retranslokai garam melalui floem, ekskresi garam, dan menggugurkan daun-daun tua. Tanaman yang memiliki mekanisme ekslusi hanya menyimpan garam dalam konsentrasi yang sangat rendah dalam batang dan pucuk karena tanaman mampu meretranslokasikan garam kembali ke daerah perakaran, sedangkan tanaman dengan mekanisme inklusi akan menyimpan garam dalam konsentrasi tinggi pada batang dan pucuk. Transpor ion sangat berperan dalam adaptasi tanaman terhadap salinitas tanpa memperhatikan mekanisme toleransi yang dimiliki oleh tanaman (Marschner, 1995).
Ketidak seimbangan ion-ion dalam larutan tanah dapat mempengaruhi penyerapa hara, misalnya konsentrasi ion Cl-, Na+ yang tinggi dalam larutan tanah dapat menurunkan penyerapan ion K+, Ca+2, Mg+2 (Sopandle, 1990; Sopandie et al. 1990ab, 1995ab; Marschner 1995). Keseimbangan penyerapan antara K+ dan Na+ atau rasio K/Na menjadi salah satu indikasi toleransi tanaman terhadap salinitas (Sopandie et al. 1993; Marschner 1995).
Tanaman yang memiliki mekanisme eklusi menyimpan garam dalam konsentrasi yang sangat rendah pada tajuk karena tanaman mampu meretranslokasikan garam kembali ke daerah pekarangan. Tanaman dengan mekanisme inklusi akan menyimpan garam dalam konsentrasi tinggi pada tajuk. Seaman (2004) mengelompokkan toleransi tanaman terhadap salinitas, baik secara ekslusi maupun inklusi menjadi toleransi pada tingkat seluler, jaringan, dan tanaman (Tabel 3).
Table 3 Respons tanaman terhadap salinitas
Morfologi
Pengurangan jumlah daun, penurunan ukuran daun, pengurangan stomata per satuan luas, peningkatan sukulensi, penebalan kutikula dan lapisan lilin, peningkatan tyloses, serta peningkatan lignifikasi akar.
Fisiologi
Peningkatan sintesis osmolit kompatibel, penurunan rasio K+/Na+, peningkatan kompartementasi Na+ kedalam vakuola, sekresi garam
Biokimia
Peningkatan produksi ABA dan peningkatan aktivitas enzim
Molekuler
Aktivitas gen yang berhubungan dengan selektivitas transport ion dan integritas membrane
Sumber: Seaman (2004)

Adaptasi Fisiologi
Mekanisme adaptasi fisiologi terjadi melalui penyesuaian osmotik, kompartementasi garam ke dalam vakuola, dan sekresi garam. Penyesuaian osmotik merupakan kemampuan tanaman untuk menurunkan potensial osmotik tanpa kehilangan turgor.  Penyesuaian osmotik dicapai melalui sintesis osmolot kompatibel dan regulasi penyerapan K+ serta efluks Na+. Sintesis osmolik kompatibel merupakan media bagi tanaman untuk melakukan penyesuaian osmotik guna mengatasi penurunan potensial tanpa kehilangan turgor ( hare et al. 1998). Senyawa yang termasuk osmolik kompetibel yang bersifat osmoprotectant adalah gula, prolin polyol, manito, asam amino, glicien betaine.
Regulasi penyerapan K dan Na untuk penyesuaian osmotik dicapai melalui selektipitas transpor ion-ion. selektipitas transpor ion-ion merupakan mekanisme yang umum digunakan tanaman untuk mencapai rasio K+/Na+ yang diinginkan oleh tanaman dalam sitosol (chinnu sami et al. 2015). Toleransi terhadap salinitas tidak hanya melibatkan adaptasi untuk mencegah toksisitas Na, tetapi juga melibatkan kemampuan melakukan transpor K secara selektif pada saat konsentrasi Na dalam larutan tanah tinggi untuk mempertahankan rasio K+/Na+. Selektifitas transpor antara K dengan Na sangat membutuhkan tolerasi tanaman terhadap salinitas karena kedua ion mempunyai muatan yang sama (rodriguez- naparro 2012).
Kosentrasi garam dalam sel tanaman dapat mencapai 3 kali lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi dalam larutan tanah. Kemampuan tanaman untuk mempertahankan konsentrasi garam yang rendah dalam sitosol sangat penting sebagai mekanisme tolenrasi nterhadap salinitas. Mekanisme yang dimiliki tanaman untuk menurunkan konsentrasi garam dalam sitosol adalah meningkatkan efluks garam pada membran plasma dan kompermentasi garam kedalam vakuola. Kompartementasi NaCl kedalam vakuola hanya dapat terjadi jika NaCl ditransfortasikan secara aktif menuju vakuola dan permeabilitas membran tonoplas terhadap NaCl rendah. Komparmentasi dan eksresi garam merupakan transfor aktif yang sangat ditentukan oleh jumlah energi yang dihasilkan melalui respirasi dalam mitokondria (Maatuis et al. 1992).
Stress salinitas juga menginduksi peningkatan akumulasi asam absisik ( ABA) dalam daun (Zhu 2012). Kandungan ABA pada varietas padi yang toleran terhadap salinitas ditemukan lebih tinggi dibandingkan dengan varietas yang peka. Peningkatan ABA dapat memperbaiki rasio Ka+/Na+ karena peningkatan kandungan ABA akan memacu eksresi ngaram melalui pengguguran daun.

Adaptasi Molekuler
Konsentrasi K + dalam sel dapat dipertahankan dengan meningkatkan ekspresi gen yang mengendalikan potassium-specific cotransporter. Pada beberapa spesies, enzim mengendalikan transporter K+ hanya diinduksi pada kondisi stres salin (Su et al. 2002). Homeostasis ion-ion terutama ion L dan Na sangat penting sebagai mekanisme toleransi terhadap salinitas (Versluos et al. 2006). Regulasi homeostasis antara ion K dan Na terjadi melalui kompartementasi Na ke dalam vakuola dalam lintasan yang dikendalikan oleh gen SOSI (SOS pathway). Ekspresi SOSI pada kondisi salinitas akan meningkat karena dipacu oleh SOS3-SOS2 Kinase (Ishitani et al. 2000). Stres salinitas akan menginisiasi signal kalsium yang mengaktifkan protein kinase komplek SOS2 dan SOS3 yang berperan meningkatkan ekspresi gen SOSI. Di samping itu SOS2 dan SOS3 juga mengatur transkripsi beberapa gen yang mengendalikan homeostasis ion H+-ATPase dan H+-Ppase. Kedua enzim ini berperan mengatur gradien proton yang berfungsi dalam aktivitas Na+/H+ antiporter (Zhu 2002; Chinnusamy et al. 2005). Ekspresi gen H-Pyrophosphatase dapat meningkatkan transpor Na ke vakuola dan mempertahankan kandungan air dalam daun sehingga toleransi terhadap salinitas meningkat (G axiola et al. 2001).

Peran Na+ dan Cl- dalam Tumbuhan
NaCl merupakan garam utama yang terkandung dalam tanah salin. Pada lahan semacam ini kadar NaCl berkisar antara 2-6 %. NaCl jika dilarutkan dalam air akan berdisosiasi menjadi ion-ion penyusunnya yaitu Na+ dan Cl-. Natrium merupakan unsur alkali yang sangat reaktif sehingga tidak dijumpai sebagai unsur bebas di alam. Atom monovalen ini memiliki energi ionisasi kecil sehingga sangat mudah untuk membentuk senyawa dengan unsure-unsur yang memiliki daya elektro negative besar, misalnya dengan unsure-unsur halogen (Tan, 1991 dan Harborne,1982).
Klorin juga sangat reaktif dan tidak dijumpai sebagai unsur bebas di alam. Unsur golongan halogen ini memiliki daya kelektronegatifan besar sehingga sangat mudah bereaksi dengan logam alkali. Itulah sebabnya mengapa kedua unsure ini biasanya ditemui sebagai senyawa NaCl (Suharto dkk, 1997). Besarnya kadar NaCl dalam tanah dapat terjadi karena tingginya masukan air yang mengandung garam atau karena mengalami tingkat evaporasi yang melebihi presipitasi. Hal ini berarti tanah salin tidak hanya ditemukan pada kawasan pantai semata, tetapi juga pada kawasan kering dengan curah hujan yang rendah (Fitter dan Hay, 1991). Klorin diserap dari tanah sebagai  ion klorida (Cl-) dan sebagian besar tetap dalam bentuk ini apabila sudah berada dalam jaringan  tumbuhan (Bidwell,1979). Kebanyakan spesies tumbuhan menyerap Cl- 10-100 kali lebih banyak  dari yang mereka butuhkan. Unsur ini tergolong unsure mikro yang memiliki peran esensial bagi  kehidupan tumbuhan, konsentrasinya hanya sekitar 100 mg/kg jaringan kering (Salisbury dan  Ross,1995).
Rains (Bonner dan Varner, 1976) menyatakan bahwa Cl- mempunyai fungsi utama dalam  reaksi fotosintesis. Ion klor ini bertugas sebagai  pemicu oksidasi pada fotosistem II. Cl- bersama  K+ juga dianggap bertanggung jawab pada aktivitas pembukaan stomata saat kondisi ada cahaya. K+ dan Cl- bergeak menuju sel-sel penjaga dalam  waktu yang relativ cepat setelah adanya cahaya,  sehingga air segera masuk ke dalam sel akibat perbedaan potensial osmotik. Disamping itu Cl- juga penting bagi akar dan pada pembelahan sel daun. Natrium bukan merupakan unsur hara yang esensial bagi sebagian besar spesies  tumbuhan. Unsur ini hanya esensial bagi tumbuhan halofit serta tumbuhan C4 (Bidwell, 1979 ; Salisbury dan Ross, 1995). Menurut Rains (Bonner dan Varner, 1976). Tumbuhan halofit  Atriplex  vesicaria akan mati dalam 35 hari jika ditumbuhkan dalam medium yang mengandung Na+ kurang  dari 0,0016 ppm. Na+ juga penting untuk fiksasi karbon pada tanaman C4. Pemasukan Na+ pada  kondisi salin akan mengubah lintasan fotosintesis dari C3 menuju C4. Hal tersebut juga terjadi  pada jagung di mana Na+ berpengaruh pada keseimbangan antara enzim fosfo enol piruvat  karboksilase dan riboluse bifosfat karboksilase.

Pertumbuhan Tanaman pada Tanah Salin
Tumbuhan yang hidup di lahan salin menghadapi dua masalah utama, yaitu dalam hal memperoleh air tanah yang potensial airnya lebih negatif dan dalam mengatasi konsntrasi tinggi ion natrium (Na+) dan klorida (Cl-) yang kemungkinan beracun (Hochachka dan Somero, 1973 ; Salisbury dan Ross, 1995). Potensial  air tanah yang lebih negatif akan memacu air keluar dari  jaringan sehingga tumbuhan kehilangan tekanan turgor. Berlimpahnya Na+ dan Cl- dapat  mengakibatkan ketidakseimbangan ion sehingga aktivitas  metabolisme dalam tutubuh tumbuhan  menjadi terganggu.
Kondisi yang membahayakan bahkan dapat menyebabkan kematian tersebut, akan memacu  tumbuhan untuk beradaptasi demi meningkatkan ketahanannya. Adaptasi itu dapat ditunjukkan  dengan terbentuknya molekul-molekul tertentu di  dalam sel, seperti prolin dan berbagai asam  amino bebas lainnya, yang berperan dalam peningkatan ketahanan terhadap cekaman garam.  Tanggapan tersebut bervariasi tergantung spesies tumbuhan, derajat dan lamanya cekaman  (Rachmawati, 2000). Untuk pertumbuhan tanaman, nilai EC (electrical conductivity) pada ekstrak tanah jenuh dinilai sebagai indikator yang belum tepat karena (1) konsentrasi aktual garam pada  permukaan akar dapat jauh lebih tinggi disbanding tanah di sekitarnya, dan (2) karakter EC hanya  dari kandungan garam total, bukan menunjuk pada komposisinya. Walaupun NaCl yang dominant,  garam yang lainpun mungkin dalam konsentrasi tinggi dan dengan komposisi yang beragam  tergantung pada asal dari air salin itu dan kelarutannya. 
Kendala utama pertumbuhan tanaman pada kondisi kadar garam tinggi ada tiga hal yaitu  (1) defisit air (stress air) yang ditimbulkan oleh rendahnya (lebih negative) potensial air dari media  tumbuh, (2) toksisitas ion akibat serapan berlebih  ion natrium dan klorida, (3) ketidak seimbangan  nutrisi akibat inhibisi dari serapan ion dan atau transport ke pucuk serta ketidaksesuaian distribusi mineral nutrisi pada internal, terutama kalsium. Sangat sulit untuk melihat kontribusi relatif dari  ketiga factor ini pada kondisi Salinitas tinggi, karena berbagai faktor mungkin juga terlibat. Faktor-faktor tersebut meliputi konsentrasi ion dan hubungannya dengan medium, lamanya cekaman,  spesies tanaman, kultivar dan tipe dari  root stock (excluder  atau  includer), stadia pertumbuhan, organ tanaman, dan kondisi lingkungan.  Waktu cekaman yang lama (long-term exposure) terhadap tanaman akan menimbulkan toksisitas ion pada pada daun tua dan deficit air serta kekurangan karbohidrat pada daun lebih  muda.


 Kesimpulan
Salinisasi  tanah   adalah  masalah   yang  umum  dijumpai  di   daerah-daerah  dengan  curah hujan  rendah.  Jika  dikombinasikan  dengan  irigasi dan    kondisi    drainase    yang    buruk,  dapat  mengakibatkan  hilangnya kesuburan  tanah  secara  permanen. Tanah tergolong salin bila mengandung garam dalam jumlah yang cukup untuk mengganggu pertumbuhan kebanyakan spesies tanaman. Akan tetapi ini bukan merupakan jumlah yang tepat karena akan tergantung kepada spesies tanaman, tekstur tanah dan kandungan air tanah, seta komposisi garamnya sendiri. Pemanfaatan lahan salin dimasa yang akan datang harus dimaksimalkan karena luas lahan pertanian subur yang terus berkurang seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Pemanfaatan lahan salin akan efisien jika menggunakan spesies atau varietas yang toleran dan adaptif serta teknik budidaya yang cocok. Pengembangan varietas yang toleran terhadap tanah salin pada berbagai komoditas sudah banyak dilakukan.




DAFTAR PUSTAKA
Alihamsyah T. 2004. Potensi dan pendayagunaan lahan rawa untuk peningkatan produksi padi. Ekonomi padi dan beras Indonesia. Kasrino F, PasandaranE, Fagi AM, editor. Jakarta (ID): Badan Litbang Pertanian.
Ardie SW, Khumaida N, Nur A, Fauziah N. 2015. Early identification of salt tolerant foxtail millet (Setaria italica (L.) Beauv.). Proc. Food Sci 3:303- 312.
Bonner, J. and Varner, J. E. 1976. Plant Biochemistry. Academic Press. New York.
Didy Sopandie. 1998.  Adaptasi Tanaman terhadap Cekaman Hara Mineral.  IPB. Bogor.
Gorham J. 2007. Sodium. Di dalam: Barker AV dan Pilbeam DJ, editor. Handbook of Plant Nutrition. Florida (US): CRC Press.
Harborne, J. B. 1982.  Introduction to Ecological Biochemistry.  Academic Press. London.
Hochachka, P. W. Somero, G. N. 1973.  Strategies of Biochemical Adaptation.  W.B. Saunders  Company. Pfiladelphia.
Hasanuzzaman M, Nahar K, Fujita M, Ahmad P, Chadna R, Prasad MNV, Ozturk M. 2013. Enhancing plant productivity under salt stress: Relevance of poly-omics. Di dalam: Ahmad P, Azooz MM, Prasad MNV, editor. Salt Stress in Plants: Signalling, Omics and Adaptations. New York (US): Springer.
Koyro HW, Ahmad P, Geissler N. 2012. Abiotic stress responses in plants: An overview. Di dalam: Ahmad P, Prasad MNV, editor. Environmental Adaptations and Stress Tolerance of Plants in the Era of Climate Change. New York (US): Springer.
Rachmawati, D. 2000. Tanggapan Tanaman Sorgum terhadap Cekaman NaCl: Pertumbuhan dan Osmoregulasi. Biologi.  Vol. 2: 515-529.
Salisbury, F. B and Ross, C. W. 1995.  Plant Physiology.  Fourth Edition. Wadsworth Publishing  Company. California.
Suharto, dkk. 1997.  Kimia Dasar II.  Jurdik Kimia FPMIPA IKIP Yogyakarta
Tan, K. M. 1991.   Dasar-dasar Kimia Tanah. UGM. Press. Yogyakarta.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Heri Kurniawan

Revitalisasi perkebunan kakao Sulawesi Selatan