Cekaman Salinitas
Tanah salin di dunia meliputi “ salt marshes ” di zona temperate, dan
daerah pasang surut (mangrove swamps) di daerah subtropik dan tropic. Ditaksir
antara 400-900 juta ha lahan di dunia mempunyai problema salinitas. Tanah salin
sangat banyak terdapat di daerah yang curah hujannya tidak mencukupi untuk
pencucian (leaching). Problem salinitas terjadi pada daerah non irigasi sebagai
akibat dari evaporasi dan transpirasi dari air bumi yang berkadar garam tinggi
atau akibat dari input garam dari curah hujan (Didy Sopandie, 1998).
Salinisasi
tanah adalah masalah
yang umum dijumpai
di daerah-daerah dengan
curah hujan rendah. Jika
dikombinasikan dengan irigasi dan
kondisi drainase yang
buruk, dapat mengakibatkan
hilangnya kesuburan tanah secara
permanen. Tipe salinitas seperti
ini merupakan faktor penyebab
krisis kemanusiaan yang
diakibatkan oleh kekeringan. Sementara salinisasi
tanah yang muncul sebagai akibat
dari bencana alam yang terjadi dalam
waktu singkat, sampai
saat ini terbatas
hanya disebabkan oleh tsunami.
Karena alasan tersebut,
menyadari bahwa banyak organisasi
kemanusiaan yang bekerja
di Aceh mungkin
belum pernah sebelumnya menemukan
fenomena seperti ini,
dan mungkin menjumpai keterbatasan
dalam mengakses informasi
tentang bagaimana mengidentifikasi dan
menghadapi persoalan yang
berkaitan dengan tanah yang
telah terkontaminasi garam.
Hal yang menguntungkan
adalah bahwa Aceh dianugerahi curah hujan
yang tinggi, yang
tidak biasa dijumpai di
sebahagian besar daerah
yang tanahnya bergaram. Disamping usaha-usaha
rehabilitasi lahan mendapatkan
banyak manfaat dari tingginya
curah hujan terhadap
garam ini, perlakuan-perlakuan konvensional lainnya,
seperti drainase yang
baik, tanaman-Tanaman berakar dalam, gypsums, dapat diperkenalkan
pada waktu dan tempat yang sesuai.
Tanah tergolong salin bila
mengandung garam dalam jumlah yang cukup untuk mengganggu pertumbuhan
kebanyakan spesies tanaman. Akan tetapi ini bukan merupakan jumlah yang tepat
karena akan tergantung kepada spesies tanaman, tekstur tanah dan kandungan air
tanah, seta komposisi garamnya sendiri. Sesuai dengan definisi yang dipakai
oleh US Salinity Laboratory bahwa ekstrak jenuh (larutan yang diekstraksi dari
tanah pada kondisi jenuh air) dari tanah salin mempunyai nilai DHL (daya hantar
listrik, EC = electrical conductivity)
lebih besar dari 4 deci Siemens/m (ekivalen
dengan 40 mM NaCl) dan persentase natrium yang dapat dirukar (ESP = exchangeable
sodium percentage ) kurang dari 15.
Salinitas pada tanah merupakan kondisi tanah yang mengandung garam
terlarut berlebih, terutama NaCl dan Na2SO4. Tanah
dikategorikan salin apabila daya hantar listriknya (EC)>4 dS.m-1
dari ekstrak pasta tanah jenuh dan persentase natrium dapat ditukar
(ESP)<15% (Gorham 2007). Konsentrasi garam yang tinggi ini, akan menyebabkan
cekaman osmotik dan ionik pada tanaman yang ditanam pada tanah salin. Hal ini
dapat menurunkan produktivitas tanaman dengan menghambat pertumbuhan tanaman
(Hasanuzzaman et al. 2013). Koyro et al. (2012) melaporkan bahwa
19.5% lahan pertanian beririgasi di dunia diperkirakan telah terkena dampak
salinitas.
Lahan salin di Indonesia mayoritas merupakan lahan pasang surut. Luas
lahan pasang surut di Indonesia mencapai 20 juta ha (Alihamsyah 2004). Oleh
karena itu, pengembangan varietas toleran salinitas perlu dilakukan. Ardie et
al. (2015) telah mengidentifikasi sejumlah aksesi hotong dengan taraf
toleransi berbeda terhadap salinitas pada fase kecambah. Akan tetapi,
pertumbuhan dan produksi aksesi-aksesi tersebut pada kondisi salinitas di
lapang belum diketahui.
Karakteristik lahan salin
Salinitas yang
terdapat di Indonesia berbeda dengan salinitas yang terdapat di daerah
semi-arid dan arid. Lahan salin di daerah semi-arid dan arid adalah lahan yang
secara alami mempunyai kandungan garam tinggi yang disebabkan oleh tanah dan
air tanah. Garam yang dominan dalam tanah salin adalah NaCl, Na2SO4, CaCl,
MgSO4, dan MgCl (Ghafoor et al. 2004), sedangkan di Indonesia yang dianggap
sebagai lahan salin adalah lahan yang mendapat intrusi air laut lebih dari
empat bulan dalam setahun dan kandungan natrium dalam larutan tanah berkisar
8-15%.
Lahan salin yang tersebar di sepanjang
pantai di indonesia mencapai seluas 400.000 ha. Pada masa yang akan datang,
luas lahan salin akan semakin meningkat karena penurunan kualitas air dan curah
hujan (Chinnusamy et al, 2005). Peningkatan luas lahan salin di Indonesia juga
tidak dapat dihindari harus dikembangkan varietas dan teknik budidaya yang
sesuai untuk lahan salin agar lahan tersebut dapat dimanfaatkan. Pemanfaatan
lahan salin dimasa yang akan datang harus dimaksimalkan karena luas lahan
pertanian subur yang terus berkurang seiring dengan pertambahan jumlah
penduduk. Pemanfaatan lahan salin akan efisien jika menggunakan spesies atau
varietas yang toleran dan adaptif serta teknik budidaya yang cocok.
Pengembangan varietas yang toleran terhadap tanah salin pada berbagai komoditas
sudah banyak dilakukan (Zhu et al, 2001; Zeng et al 2002; Hussain et al, 2003;
Chinnusamy et al, 2005). Ambang batas EC dan persentase penurunan hasil pada
beberapa spesies tanaman dijelaskan pada Tabel 1. Kacang hijau, terung, bawang
merah, dan jagung tergolong peka Salinitas, sedangkan gandum, bir, gula, kapas,
dan barley tergolong toleran salinitas (Ghafoor et al, 2004).
Tingkat toleransi beberapa jenis tanaman
terhadap salinitas terdapat pada Tabel 2. Di antara bebagai tanaman, kelompok
rumput-rumputan merupakan kelompok yang sangat toleran terhadap salinitas,
tetapi padi yang dibudidayakan di daerah semi-arid dan arid adalah padi yang
toleran terhadap salinitas. Beberapa varietas padi toleran terhadap salinitas
adalah Kashmir Basmati dan NIAB-IRRI 9.
Table 1. Ambang batas salinitas beberapa
No
|
Jenis
Tanaman
|
Ambang
Batas Salinitas (ds/m)
|
Penurunan
Hasil (%/dsm-1)
|
1
|
Kacang Hijau
|
1.0
|
19.0
|
2
|
Terung
|
1.1
|
6.9
|
3
|
Bawang Merah
|
1.2
|
16.0
|
4
|
Cabai
|
1.5
|
14.0
|
5
|
Jagung
|
1.7
|
12.0
|
6
|
Tebu
|
1.7
|
5.9
|
7
|
Kentang
|
1.7
|
12.0
|
8
|
Kubis
|
1.8
|
9.7
|
9
|
Tomat
|
2.5
|
9.9
|
10
|
Padi
|
3.0
|
12.0
|
11
|
Kacang Tanah
|
3.2
|
29.0
|
12
|
Kedelai
|
5.0
|
20.0
|
13
|
Gandum
|
6.0
|
7.1
|
14
|
Bit Gula
|
7.0
|
5.9
|
15
|
Kapas
|
7.7
|
5.2
|
16
|
Barley
|
8.0
|
5.0
|
Sumber:
Ghafoor et al. (2004)
Mekanisme Adaptasi
Tanaman Terhadap Cekaman Salinitas
Permasalahan salinitas terus
meningkat karena penurunak kualitas dan kuantitas drainase. Tanah yang dianggap
sebagai tanah salin adalah tanah yang jika memiliki daya hantar listrik (EC = electric conductivity) lebih dari 4
ds/m, setara dengan 40 mM NaCl dalam larutan tanah.
Menurut Ghafoor et al. (2014),
salinitas merupakan cekaman abiotik yang mempengaruhi produktivitas dan
kualitas tanaman. Salinitas menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan
tanaman. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan tanaman pada kondisi salin
disebabkan oleh :
1. Penurunan
potensial osmotik larutan tanah sehingga mengurangi ketersediaan air bagi
tanaman
2. Peningkatan
konsentrasi ion yang bersifat racun bagi tanaman atau memacu ketidak seimbangan
metabolisme nutrisi perubahan struktur fisik dan kimia tanah.
Tabel 2.
Tingkat adaptasi tanaman terhadap Na berdasarkan Na yang dapat ditukar di
lapangan
Sangan
Toleran
(Nadd>60)
|
Toleran
(Nadd=40-60)
|
Medium
Toleran
(Nadd20-40)
|
Peka
(Nadd10-20)
|
Sangat
Peka
(Nadd2-10)
|
When grass
|
Gandum
|
Clovers
|
Kedelai
|
Alpukat
|
Grass
|
Kapas
|
Oats
|
Jagung
|
Jeruk
|
Tall wheat grass
|
Alfalfa
|
Padi
|
Kacang tanah
|
nuts
|
Barley
|
Lentil
|
|||
Tomat
|
Sesame
|
|||
Garden beet
|
Sumber:
Ghafoor et al. (2004)
Peningkatan osmotik atau penurunan
potensial osmotik menyebabkan penurunan produktivitas tanaman karena penurunan
penyerapan air. Pada kondisi salin, tanaman memerlukan lebih banyak energi
untuk menyerap air dan mempertahankan turgor sel. Jika tanaman tidak mempunyai
energi yang cukup, penyerapan air dan
aliran transpirasi akan menurun sehingga pertumbuhan dan produksi tanaman juga
akan terganggu.
Ketika tanaman ditanaman dalam
kondisi salin , maka tanaman mengalami
ketidak seimbangan ion-ion yang dapat menyebabkan tosisitas bagi tanaman.
Ketidak seimbangan ion-ion dalam larutan tanah dapat mempengaruhi penyerapan
hara, misal kosentrasi ion Cl-, Na+, atau Mg+2 yang tinggi dalam larutan tanah
dapat menurunkan penyerapan ion No3-, K+, Zn+, dan Ca+2. Keseimbangan
penyerapan antara Ka+ dan Na+ atau rasio K/Na menjadi salah satu indikasi
toleransi tanaman terhadap salinitas. Dalam kondisi salin, tanaman akan mempertahankan gradien potensial air antara
sel tanaman dan larutan tanah melalui penyesuaian osmotik. Penyesuaian fisiologi
dalam tanaman melibatkan proses fotosintesis, produksi hormon, pembukaan
stomata, respirasi, dan sintesis osmotikum.
Menurut Marschner (1995), mekanisme
toleransi tehadap salinitas meliputi mekanisme ekslusi dan inklusi. Mekanisme
ekslusi adalah mekanisme untuk mencegah defisit air secara internal denagn cara
sintesis solut organik dan meningkatkan sukulensi. Sementara mekanisme inklusi
adalah mekanisme untuk mencegah toksisitas ion-ion melalui jaringan yang
mempunyai toleransi tinggi terhadap peningkatan konsentrasi garam dengan cara
kompartementasi garam, sintesis solut kompatibel, dan pertukaran K+/Na+, serta
penghindaran dari ion berkonsentrasi tinggi dengan cara retranslokai garam
melalui floem, ekskresi garam, dan menggugurkan daun-daun tua. Tanaman yang
memiliki mekanisme ekslusi hanya menyimpan garam dalam konsentrasi yang sangat
rendah dalam batang dan pucuk karena tanaman mampu meretranslokasikan garam
kembali ke daerah perakaran, sedangkan tanaman dengan mekanisme inklusi akan
menyimpan garam dalam konsentrasi tinggi pada batang dan pucuk. Transpor ion
sangat berperan dalam adaptasi tanaman terhadap salinitas tanpa memperhatikan
mekanisme toleransi yang dimiliki oleh tanaman (Marschner, 1995).
Ketidak seimbangan ion-ion dalam larutan
tanah dapat mempengaruhi penyerapa hara, misalnya konsentrasi ion Cl-, Na+ yang
tinggi dalam larutan tanah dapat menurunkan penyerapan ion K+, Ca+2, Mg+2
(Sopandle, 1990; Sopandie et al. 1990ab, 1995ab; Marschner 1995). Keseimbangan
penyerapan antara K+ dan Na+ atau rasio K/Na menjadi salah satu indikasi
toleransi tanaman terhadap salinitas (Sopandie et al. 1993; Marschner 1995).
Tanaman yang memiliki mekanisme eklusi
menyimpan garam dalam konsentrasi yang sangat rendah pada tajuk karena tanaman
mampu meretranslokasikan garam kembali ke daerah pekarangan. Tanaman dengan
mekanisme inklusi akan menyimpan garam dalam konsentrasi tinggi pada tajuk.
Seaman (2004) mengelompokkan toleransi tanaman terhadap salinitas, baik secara
ekslusi maupun inklusi menjadi toleransi pada tingkat seluler, jaringan, dan
tanaman (Tabel 3).
Table 3
Respons tanaman terhadap salinitas
Morfologi
|
Pengurangan jumlah
daun, penurunan ukuran daun, pengurangan stomata per satuan luas, peningkatan
sukulensi, penebalan kutikula dan lapisan lilin, peningkatan tyloses, serta peningkatan lignifikasi
akar.
|
Fisiologi
|
Peningkatan sintesis osmolit kompatibel, penurunan
rasio K+/Na+, peningkatan kompartementasi Na+ kedalam vakuola, sekresi garam
|
Biokimia
|
Peningkatan produksi ABA dan peningkatan
aktivitas enzim
|
Molekuler
|
Aktivitas gen yang berhubungan dengan
selektivitas transport ion dan integritas membrane
|
Sumber:
Seaman (2004)
Adaptasi
Fisiologi
Mekanisme adaptasi fisiologi terjadi
melalui penyesuaian osmotik, kompartementasi garam ke dalam vakuola, dan sekresi
garam. Penyesuaian osmotik merupakan kemampuan tanaman untuk menurunkan
potensial osmotik tanpa kehilangan turgor.
Penyesuaian osmotik dicapai melalui sintesis osmolot kompatibel dan
regulasi penyerapan K+ serta efluks Na+. Sintesis osmolik kompatibel merupakan
media bagi tanaman untuk melakukan penyesuaian osmotik guna mengatasi penurunan
potensial tanpa kehilangan turgor ( hare et al. 1998). Senyawa yang termasuk
osmolik kompetibel yang bersifat osmoprotectant adalah gula, prolin polyol,
manito, asam amino, glicien betaine.
Regulasi penyerapan K dan Na untuk
penyesuaian osmotik dicapai melalui selektipitas transpor ion-ion. selektipitas
transpor ion-ion merupakan mekanisme yang umum digunakan tanaman untuk mencapai
rasio K+/Na+ yang diinginkan oleh tanaman dalam sitosol (chinnu sami et al.
2015). Toleransi terhadap salinitas tidak hanya melibatkan adaptasi untuk
mencegah toksisitas Na, tetapi juga melibatkan kemampuan melakukan transpor K
secara selektif pada saat konsentrasi Na dalam larutan tanah tinggi untuk
mempertahankan rasio K+/Na+. Selektifitas transpor antara K dengan Na sangat
membutuhkan tolerasi tanaman terhadap salinitas karena kedua ion mempunyai
muatan yang sama (rodriguez- naparro 2012).
Kosentrasi garam dalam sel tanaman dapat
mencapai 3 kali lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi dalam larutan
tanah. Kemampuan tanaman untuk mempertahankan konsentrasi garam yang rendah
dalam sitosol sangat penting sebagai mekanisme tolenrasi nterhadap salinitas.
Mekanisme yang dimiliki tanaman untuk menurunkan konsentrasi garam dalam
sitosol adalah meningkatkan efluks garam pada membran plasma dan kompermentasi
garam kedalam vakuola. Kompartementasi NaCl kedalam vakuola hanya dapat terjadi
jika NaCl ditransfortasikan secara aktif menuju vakuola dan permeabilitas
membran tonoplas terhadap NaCl rendah. Komparmentasi dan eksresi garam
merupakan transfor aktif yang sangat ditentukan oleh jumlah energi yang
dihasilkan melalui respirasi dalam mitokondria (Maatuis et al. 1992).
Stress salinitas juga menginduksi
peningkatan akumulasi asam absisik ( ABA) dalam daun (Zhu 2012). Kandungan ABA
pada varietas padi yang toleran terhadap salinitas ditemukan lebih tinggi
dibandingkan dengan varietas yang peka. Peningkatan ABA dapat memperbaiki rasio
Ka+/Na+ karena peningkatan kandungan ABA akan memacu eksresi ngaram melalui
pengguguran daun.
Adaptasi Molekuler
Konsentrasi K + dalam sel dapat
dipertahankan dengan meningkatkan ekspresi gen yang mengendalikan potassium-specific cotransporter. Pada
beberapa spesies, enzim mengendalikan transporter K+ hanya diinduksi
pada kondisi stres salin (Su et al. 2002). Homeostasis ion-ion terutama ion L dan
Na sangat penting sebagai mekanisme toleransi terhadap salinitas (Versluos et
al. 2006). Regulasi homeostasis antara ion K dan Na terjadi melalui kompartementasi
Na ke dalam vakuola dalam lintasan yang dikendalikan oleh gen SOSI (SOS
pathway). Ekspresi SOSI pada kondisi salinitas akan meningkat karena dipacu
oleh SOS3-SOS2 Kinase (Ishitani et al. 2000). Stres salinitas akan menginisiasi
signal kalsium yang mengaktifkan protein kinase komplek SOS2 dan SOS3
yang berperan meningkatkan ekspresi gen SOSI. Di samping itu SOS2 dan SOS3 juga
mengatur transkripsi beberapa gen yang mengendalikan homeostasis ion H+-ATPase
dan H+-Ppase. Kedua enzim ini berperan mengatur gradien proton yang
berfungsi dalam aktivitas Na+/H+ antiporter (Zhu 2002; Chinnusamy et al. 2005).
Ekspresi gen H-Pyrophosphatase dapat meningkatkan transpor Na ke vakuola dan
mempertahankan kandungan air dalam daun sehingga toleransi terhadap salinitas
meningkat (G axiola et al. 2001).
Peran Na+ dan Cl- dalam Tumbuhan
NaCl merupakan garam utama yang
terkandung dalam tanah salin. Pada lahan semacam ini kadar NaCl berkisar antara
2-6 %. NaCl jika dilarutkan dalam air akan berdisosiasi menjadi ion-ion penyusunnya
yaitu Na+ dan Cl-. Natrium merupakan unsur alkali yang sangat reaktif sehingga
tidak dijumpai sebagai unsur bebas di alam. Atom monovalen ini memiliki energi
ionisasi kecil sehingga sangat mudah untuk membentuk senyawa dengan
unsure-unsur yang memiliki daya elektro negative besar, misalnya dengan
unsure-unsur halogen (Tan, 1991 dan Harborne,1982).
Klorin juga sangat reaktif dan tidak
dijumpai sebagai unsur bebas di alam. Unsur golongan halogen ini memiliki daya
kelektronegatifan besar sehingga sangat mudah bereaksi dengan logam alkali.
Itulah sebabnya mengapa kedua unsure ini biasanya ditemui sebagai senyawa NaCl
(Suharto dkk, 1997). Besarnya kadar NaCl dalam tanah dapat terjadi karena
tingginya masukan air yang mengandung garam atau karena mengalami tingkat
evaporasi yang melebihi presipitasi. Hal ini berarti tanah salin tidak hanya
ditemukan pada kawasan pantai semata, tetapi juga pada kawasan kering dengan
curah hujan yang rendah (Fitter dan Hay, 1991). Klorin diserap dari tanah
sebagai ion klorida (Cl-) dan sebagian
besar tetap dalam bentuk ini apabila sudah berada dalam jaringan tumbuhan (Bidwell,1979). Kebanyakan spesies
tumbuhan menyerap Cl- 10-100 kali lebih banyak
dari yang mereka butuhkan. Unsur ini tergolong unsure mikro yang
memiliki peran esensial bagi kehidupan
tumbuhan, konsentrasinya hanya sekitar 100 mg/kg jaringan kering (Salisbury
dan Ross,1995).
Rains (Bonner dan Varner, 1976)
menyatakan bahwa Cl- mempunyai fungsi utama dalam reaksi fotosintesis. Ion klor ini bertugas
sebagai pemicu oksidasi pada fotosistem
II. Cl- bersama K+ juga dianggap
bertanggung jawab pada aktivitas pembukaan stomata saat kondisi ada cahaya. K+
dan Cl- bergeak menuju sel-sel penjaga dalam
waktu yang relativ cepat setelah adanya cahaya, sehingga air segera masuk ke dalam sel akibat
perbedaan potensial osmotik. Disamping itu Cl- juga penting bagi akar dan pada
pembelahan sel daun. Natrium bukan merupakan unsur hara yang esensial bagi
sebagian besar spesies tumbuhan. Unsur
ini hanya esensial bagi tumbuhan halofit serta tumbuhan C4 (Bidwell, 1979 ;
Salisbury dan Ross, 1995). Menurut Rains (Bonner dan Varner, 1976). Tumbuhan
halofit Atriplex vesicaria akan mati dalam 35 hari jika
ditumbuhkan dalam medium yang mengandung Na+ kurang dari 0,0016 ppm. Na+ juga penting untuk
fiksasi karbon pada tanaman C4. Pemasukan Na+ pada kondisi salin akan mengubah lintasan fotosintesis
dari C3 menuju C4. Hal tersebut juga terjadi
pada jagung di mana Na+ berpengaruh pada keseimbangan antara enzim fosfo
enol piruvat karboksilase dan riboluse
bifosfat karboksilase.
Pertumbuhan Tanaman pada Tanah Salin
Tumbuhan yang hidup di lahan salin
menghadapi dua masalah utama, yaitu dalam hal memperoleh air tanah yang
potensial airnya lebih negatif dan dalam mengatasi konsntrasi tinggi ion
natrium (Na+) dan klorida (Cl-) yang kemungkinan beracun (Hochachka dan Somero,
1973 ; Salisbury dan Ross, 1995). Potensial
air tanah yang lebih negatif akan memacu air keluar dari jaringan sehingga tumbuhan kehilangan tekanan
turgor. Berlimpahnya Na+ dan Cl- dapat
mengakibatkan ketidakseimbangan ion sehingga aktivitas metabolisme dalam tutubuh tumbuhan menjadi terganggu.
Kondisi yang membahayakan bahkan
dapat menyebabkan kematian tersebut, akan memacu tumbuhan untuk beradaptasi demi meningkatkan
ketahanannya. Adaptasi itu dapat ditunjukkan
dengan terbentuknya molekul-molekul tertentu di dalam sel, seperti prolin dan berbagai
asam amino bebas lainnya, yang berperan
dalam peningkatan ketahanan terhadap cekaman garam. Tanggapan tersebut bervariasi tergantung
spesies tumbuhan, derajat dan lamanya cekaman
(Rachmawati, 2000). Untuk pertumbuhan tanaman, nilai EC (electrical conductivity) pada ekstrak tanah
jenuh dinilai sebagai indikator yang belum tepat karena (1) konsentrasi aktual
garam pada permukaan akar dapat jauh
lebih tinggi disbanding tanah di sekitarnya, dan (2) karakter EC hanya dari kandungan garam total, bukan menunjuk
pada komposisinya. Walaupun NaCl yang dominant,
garam yang lainpun mungkin dalam konsentrasi tinggi dan dengan komposisi
yang beragam tergantung pada asal dari
air salin itu dan kelarutannya.
Kendala utama pertumbuhan tanaman
pada kondisi kadar garam tinggi ada tiga hal yaitu (1) defisit air (stress air) yang ditimbulkan
oleh rendahnya (lebih negative) potensial air dari media tumbuh, (2) toksisitas ion akibat serapan
berlebih ion natrium dan klorida, (3) ketidak
seimbangan nutrisi akibat inhibisi dari
serapan ion dan atau transport ke pucuk serta ketidaksesuaian distribusi
mineral nutrisi pada internal, terutama kalsium. Sangat sulit untuk melihat
kontribusi relatif dari ketiga factor
ini pada kondisi Salinitas tinggi, karena berbagai faktor mungkin juga
terlibat. Faktor-faktor tersebut meliputi konsentrasi ion dan hubungannya
dengan medium, lamanya cekaman, spesies
tanaman, kultivar dan tipe dari root
stock (excluder atau includer), stadia pertumbuhan, organ tanaman,
dan kondisi lingkungan. Waktu cekaman
yang lama (long-term exposure) terhadap tanaman akan menimbulkan toksisitas ion
pada pada daun tua dan deficit air serta kekurangan karbohidrat pada daun lebih muda.
Salinisasi
tanah adalah masalah
yang umum dijumpai
di daerah-daerah dengan
curah hujan rendah. Jika
dikombinasikan dengan irigasi dan
kondisi drainase yang
buruk, dapat mengakibatkan
hilangnya kesuburan tanah secara
permanen. Tanah tergolong salin bila
mengandung garam dalam jumlah yang cukup untuk mengganggu pertumbuhan
kebanyakan spesies tanaman. Akan tetapi ini bukan merupakan jumlah yang tepat
karena akan tergantung kepada spesies tanaman, tekstur tanah dan kandungan air
tanah, seta komposisi garamnya sendiri. Pemanfaatan lahan
salin dimasa yang akan datang harus dimaksimalkan karena luas lahan pertanian
subur yang terus berkurang seiring dengan pertambahan jumlah penduduk.
Pemanfaatan lahan salin akan efisien jika menggunakan spesies atau varietas
yang toleran dan adaptif serta teknik budidaya yang cocok. Pengembangan
varietas yang toleran terhadap tanah salin pada berbagai komoditas sudah banyak
dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Alihamsyah
T. 2004. Potensi dan pendayagunaan lahan rawa untuk peningkatan produksi
padi. Ekonomi padi dan beras Indonesia. Kasrino F, PasandaranE, Fagi AM,
editor. Jakarta (ID): Badan Litbang Pertanian.
Ardie SW,
Khumaida N, Nur A, Fauziah N. 2015. Early identification of salt tolerant
foxtail millet (Setaria italica (L.) Beauv.). Proc. Food Sci 3:303-
312.
Bonner, J. and Varner, J. E. 1976. Plant Biochemistry. Academic Press. New
York.
Didy Sopandie. 1998. Adaptasi Tanaman terhadap Cekaman Hara
Mineral. IPB. Bogor.
Gorham J.
2007. Sodium. Di dalam: Barker AV dan Pilbeam DJ, editor. Handbook of Plant
Nutrition. Florida (US): CRC Press.
Harborne, J. B. 1982. Introduction to Ecological
Biochemistry. Academic Press.
London.
Hochachka, P. W. Somero, G. N. 1973. Strategies
of Biochemical Adaptation. W.B.
Saunders Company. Pfiladelphia.
Hasanuzzaman
M, Nahar K, Fujita M, Ahmad P, Chadna R, Prasad MNV, Ozturk M. 2013. Enhancing
plant productivity under salt stress: Relevance of poly-omics. Di dalam: Ahmad
P, Azooz MM, Prasad MNV, editor. Salt Stress in Plants: Signalling, Omics
and Adaptations. New York (US): Springer.
Koyro HW,
Ahmad P, Geissler N. 2012. Abiotic stress responses in plants: An overview. Di
dalam: Ahmad P, Prasad MNV, editor. Environmental Adaptations and Stress
Tolerance of Plants in the Era of Climate Change. New York (US): Springer.
Rachmawati, D. 2000. Tanggapan Tanaman Sorgum terhadap
Cekaman NaCl: Pertumbuhan dan Osmoregulasi. Biologi. Vol. 2:
515-529.
Salisbury, F. B and Ross, C. W. 1995. Plant
Physiology. Fourth Edition.
Wadsworth Publishing Company.
California.
Suharto, dkk. 1997.
Kimia Dasar II. Jurdik Kimia FPMIPA IKIP Yogyakarta
Tan, K. M. 1991.
Dasar-dasar Kimia Tanah. UGM.
Press. Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar